26 March 2013

Menulis Itu


Menulis itu
menenangkan pikiran
memanah hati
memompa otak
melemaskan otot tegang
melatih imajinasi
menghabiskan waktu
melupakan dunia dan realita
menyamarkan maya dan nyata
menguak yang tersembunyi
menyembuhkan
menginspirasi
menyemangati
menguatkan


Untuk sebagian orang...

KTP buatku

Apakah hanya ini makna kedewasaan yang didambakan anak remaja?
Kebebasan inikah?
Sudah 17 lalu apa? Bangga? Merasa sudah menjadi orang paling matang di dunia?

Sekarang, mungkin ya. Itu bukti fisiknya. Tetapi aku yakin, aku akan menemukan jawabannya yang bukan sekadar kasat mata. Kelak. Tahun ini aku dapat satu kosakata baru. Tahun depan pasti juga dapat satu. Begitu seterusnya. Waktunya akan datang. Aku percaya. Aku yang dewasa akan datang Sekarang saatku menikmatinya saja selagi menunggu.

Terjebak Dalam Diri Sendiri


Rasanya semua orang maju, kok gue malah berjalan mundur ya?

Gumpalan sampah. Gue terjebak di dalam gumpalan sampah. Gue ga bisa keluar. Ga bisa napas. Bentar lagi gue ketemu malaikat nih, pikir gue. 

Orang lain sudah mendahului gue di depan. Padahal yang duluan lari gue. Gue ketinggalan jauh. Gue takut kalah dari mereka. Gue gamau kalah. Gak ngerti kenapa. Mungkin karena gengsi, gue yang duluan lari, pasti gue duluan mencapai garis finish dong? Logikanya kan gitu. Tapi, kenapa semua sampah ini ngejar gue sih. Mereka melahap gue. Menarik gue jauh dari arena. Sekarang gue gak berdaya di bawa gumpalan sampah. 

22 March 2013

Perjalanan dan Kado Untuk Sang Musafir Hawa

Tulisan ini berbicara tentang bagaimana perjalanan panjang seorang pemudi untuk mendapatkan sebuah KTP, sebuah identitas kebangsaannya. Yang perlu digarisbawahi adalah perjalanannya yang seorang diri saja. Hanya dia, niat dan kemauan.

Awal cerita dimulai dari meminta tanda tangan ketua RT, ketua RW, membawa data ke kantor lurah, sampai akhirnya proses pemfotoan diri. Ia lakukan semua sendiri. Tidak sekali ia datang ke rumah ketua RW untuk mendapat tandatangannya. Perlu tiga kali karena ketua RW yang dicari sedang tidak berada ditempat. Dan yang paling sulit dilupakan adalah hari ini. Mari.. Kurunut kronologisnya.

Kedatangan pertama kali ke kelurahan
Pakai celana pendek kotak-kotak. Langkah mantap dan semangat. Jalan kaki menuju kantor lurah. Matahari belum di tengah kota. Dari jauh melihat papan nama gedung. Masuk ke halaman gedung dengan agak merasa diri sang musafir keren. Namun, setelah masuk kantor, raut wajah berubah menjadi agak bodoh dan polos. Bertanya kepada seseorang di dekatnya perihal dimana ruangan membuat KTP. Kaget serta tak dapat berkata-kata, saat musafir ini tahu bahwa tidak boleh masuk ruangan dengan tanpa memakai celana panjang. Pulang ke rumah dengan keringat mengucur cukup deras, padahal baru saja mandi.

Kedatangan kedua kali ke kantor lurah
Mengenakan jeans panjang. Langkah mulai goyah. Menempuh rute dan kendaraan yang sama (berjalan kaki maksudnya) ke kantor lurah. Matahari mulai mengeluarkan sengatnya. Berhasil masuk ruangan dengan selamat. Menunggu. Berbicara dengan ibu-ibu, tidak tahu dia staf atau orang biasa. Sang musafir hawa duga, dia bekerja di sana. Kembali dikejutkan dengan apa yang dikatakan ibu tadi, perlu bawa akte lahir atau ijazah SMP. Sedangkan musafir ini hanya tahu perlu bawa surat dari ketua RT-RW dan Kartu Keluarga. Terpaksa pulang. Pulang lagi dengan kucuran (sekarang) deras keringat dan dengan kesia-siaan yang dibawanya. Bertemu dengan kakak sang musafir yang bingung. Musafir bercerita singkat. Segera pergi meninggalkan kakaknya dengan wajah masih bingung. Naik ke kamar orangtua sang musafir. Mengobrak-abrik kamar dengan tergesa-gesa, tanpa merapikannya. Makan po*ky, sambil mengademkan diri di depan kipas angin. Siap berpetualang lagi.

Kedatangan ketiga kali ke kantor lurah
Wajah sudah tebal melihat ekspresi orang-orang bingung melihatnya bolak-balik melewati gang. Berjalan dengan lelah, tidak lupa juga keringat. Tidak ingat, entah matahari langsung membakar kulitnya atau awan menyelamatkan kulitnya yang sudah gelap. Memasuki kantor lurah. Langsung duduk tanpa izin. Bertanya dengan berani apa yang sedang ia tunggu. Tidak kaget ketika tahu ia harus menunggu. Saat itu pukul 09.58. Orang yang mengurus KTP sedang rapat dan akan kembali pukul 11 siang. Musafir memilih untuk menunggu. Memasang earphone di telinganya. Mengambil buku 'Sup Gibran' dari dalam tas. Membuat diri senyaman mungkin. 10 menit berlalu. 20 menit. 30 menit. 35 menit. Ia mulai sulit membuka mata. Pandangannya kabur karena dilanda kantuk. Pukul 10.35. Seseorang bicara padanya, rapat akan selesai pukul 3. Ia juga duga begitu. Pulang dengan sia-sia dan dengan membawa nomer telepon kantor lurah dan dengan earphone yang masih menempel di telinga. Jalannya sudah tidak lurus. Kakinya berat karena mengantuk.

Kedatangan keempat kali ke kantor lurah
Menelpon kantor lurah pukul 2 kurang. Dari telepon tahu bahwa pertugas sudah bisa diajak bekerja sama. Mengenakan pakaian yang sama. Pergi dengan langkah semantap pertama kali. Berjalan dengan earphone yang setia menemani. Kali ini tanpa bawa buku dan tas. Malas dengan pernak-pernik tidak penting. Ke sana, ya untuk KTP saja. Yakin kali ini adalah kedatangan yang terakhir kalinya. Matahari sudah lelah menyinari bumi. Energinya sudah tidak sekuat tadi. Ramai di ruang mengurus KTP. Bertemu ibu itu lagi. Tebakan sang musafir hawa benar soal kedatangan kali ini. Sang musafir hawa langsung ditanyai petugas. Difoto. Juga ditanyai petugas apa tidak puas dengan fotonya dan ingin mengulang. Sang musafir dengan mantap berkata tidak. Ingin cepat selesai. Disuruh meletakkan jempolnya ke alat sensor sidik jari, lalu menekan jempolnya. Musafir hawa mengakhiri dengan bertanya kapan ia dapat KTP-nya. Akhirnya yang ditunggu-tunggu. Selesai juga. Pulang dengan hati senang. (Yang ini tambahan saja. Pergi ke Indo***et. Menghadiahkan dirinya sendiri sebungkus keripik dan permen kenyal, setelah menempuh perjalanan yang panjang. Tanpa pikir gendut dan batuk.)

E-M-P-A-T kali. Sang musafir empat kali ke kantor lurah (bolak-balik) dalam satu hari. Panjang bukan harinya? Ya. Memang benar panjang dan melelahkan. Namun, sang musafir malah berpikir lain. Ia pikir perjalanan ini seperti kado ulang tahun ke-17 dari keluarahan tersebut. Menyadarkannya dan membuatnya melihat diri sudah dewasa. Sudah seharusnya bisa menyelesaikan masalah sendiri dan mandiri. Itu kado yang ia dapat dari perjalanannya hari ini. Usia 17 tahun dan KTP adalah tanda bahwa ia perlu bersiap-siap menghadapi dunia dan realita yang jauh berbeda dengan dunianya dan lingkungan sekolahnya.

Perjalanannya masih belum selesai karena kedatangan keempat kalinya bukanlah kedatangan yang terakhir. Senin depan, sang musafir hawa akan pergi sekali lagi ke kantor lurah dan akan benar-benar resmi memiliki kebangsaan dan tercatat dalam buku arsip kependudukan bahwa ia ada di bumi Indonesia, berlokasi di Jakarta, kota yang selalu melek, Ibukota Tanah Airnya. Dan pula bukti bahwa pemudi ini asli made in Indonesia.

Setelah tahu betapa panjang perjalanan yang telah dilalui, ia bangga.

Saya bangga.

Puisi Cinta (Seenaknya) Gue

Ini puisi cinta
Gue sih sebutnya puisi
bukan kacangan
bukan gombalan garing
bukan romantis-romantisan

Ini namanya cinta
usia beda jauh atau dekat ga jadi soal
ras beda kaya langit dan bumi ga ada urusan
namanya juga cinta

cinta yang menutup mata menjadi katarak setebal dosa
tompel sebesar apapun akan menjadi eksotis

cinta itu gula alami Tuhan yang cipta
puyer dengan senyumannya sama dengan jus alpukat dari surga
Ha-Ha

cinta itu olahraga jantung
cinta paksa jantung bekerja 3 kali lebih keras
bahkan SEPULUH kali mungkin
siapa tahu?

kalau lagi kasmaran,
cinta itu obat anti-mengantuk paling mujarab sedunia
dosis kafeinnya melebihi segalon teh dan kopi tubruk pekat

itu semua cinta remaja
masih ringkih
ditiup semut, runtuh berantakan jadinya

tapi yang sama dari semua kalangan penikmat cinta adalah
cinta itu guru
melatih untuk mengalah
menekan ego
saling percaya
dan yang paling utama adalah setia

04 March 2013

Coba deh jalan di tengah hujan, malam-malam, di gang rumah, sendirian, sambil memegang payung, dan tak lupa menancapkan earphones di telinga dengan suara cukup keras, lagunya Phil Philips yang judulnya Home, dan terdengar samar-samar bunyi hujan ang sebenarnya cukup deras dari dalam kupingnya sedang mendengar lagu, rasakan air bercipratan ke kaki, udara sejuk merasuk tubuh. Aduh... Nyaman sekali :) Gada mati deh

03 March 2013

Ada Apa Dengan Microsoft Word Kosong?


Guru ekskul gue yang juga adalah teman seusia gue yang juga adalah kakak senior gue menyadarkan bahwa sebenernya Microsoft Word yang kosong itu menakutkan dan menyeramkan. Suwer deh. Gue makin dipaksa nulis, makin mampet. Microsoft Word seperti memaksa gue lewat pikiran. Gila. Kenapa baru sadar sekarang ya? Dia sekarang udah berani dan mampu melawan Ms Word kosong tersebut. Gue juga harus bisa!

Perihal Lari Sore dan Senayan

Ya, Minggu sore lalu, tepat seminggu, aku pergi jogging. Inginnya sih pergi ke tempat lain selain di rumah untuk sekadar membaca buku dan mendengar musik dengan autisnya, tetapi memakai kata jogging sebagai topeng, biar keliatan lebih keren. Memang benar aku lari sore, 4 kali keliling Gelora Bung Karno, setelah itu baru aku duduk menikmati  kesendirian.

Untuk pengetahuan nih, haha, aku yang menjadi sopir kali ini, bukan papaku. Benar-benar dari awal perjalanan hingga sampai dengan selamat di Senayan. Dan mesin tidak mati selama aku mengendarai. WohoO!

Banyak hal yang kutemui dan kupikirkan saat sedang lari sore. Hanya lari sore. Bayangkan ya betapa Tuhan menciptaan manusia begitu unik, aku dan kamu. Hanya dengan sebuah lari sore saja, banyak ide mencuat di benak seseorang, termasuk diriku.

Setiap kali aku lari, aku selalu mengobrol. Entah kau sebut ini normal, atau aneh. Aku bicara pada diriku. Paling sering yang isinya demikian dalam bentuk kata yang beragam:
Jas, lu bisa satu puteran nih. Inget perut rata. Woii perut lu bakal rata. Ginian tuh sepele. Masa ga kuat. Ini bikin lu sehat. Lu barusan makan kan? Nah sekarang waktunya ngebakar lemak-lemak jahat itu.
Atau
Buset dah ini ibu-ibu jiwa muda banget sih ampe silau gue ngeliat dandanan nya.
Atau
Nih orang sih gaya larinya lucu parah loh, ga boong. Kurang laki amat. 
 Atau
Pokoknya gue ga boleh kalah sama bapak itu. Gue bakal lari terus sampai dia berenti lari. 
Disisi diriku satu lagi berkata: Sumpah nih bapak kuat banget. Jantung gue bisa copot kalau ikutan lari sampai ini bapak berenti lari. Ga kuat. Udah deh. Gue kalah. (dan biasanya gue beneran langsung jalan lunglai dengan tampang abis disiksa majikan)
Saat sedang  jogging, paling tidak ada satu orang, perempuan biasanya, yang memakai pakaian yang benar-benar tidak cocok untuk dipakai untuk berolahraga, sering kita sebut salah kostum/saltum. Antara terlalu norak, terlalu ketat sehingga memperlihatkan seluruh lekukan dan lipatan tubuh mereka, terlalu berlebihan, ataupun terlalu ingin berpenampilan seperti anaknya yang masih belia. Seringkali, mereka ini menjadi pusat perhatian karena memang eye-catching, tidak aku sangkali hal ini.

Ada yang karena pakaian yang dikenakan membuat dirinya eye-catching, ada pula karena gaya larinya. Gaya lari ada berbagai macam, mulai dari yang lucu sampai aneh. Mulai dari gaya lari perempuan seksi sampai gaya lari orang macho. Semuanya ada deh di sini. Ada orang berlari, pasti ada tukang minuman. Ada tukang minuman, ada juga tukang bakmi, tukang siomay, dan ibu penjual tempe mendoan yang siap melayani orang yang lelah dan berkeringat. Semuanya seperti saling terkait.

Bagiku, itu bukanlah masalah atau gangguan, tetapi menjadi keunikan saat lari sore. Aku senang  melihat mereka, laki-laki maupun perempuan, yang rajin berolahraga. Walaupun memakai pakaian dan sepatu seadanya, ada juga yang pakai sendal bahkan, mereka sadar akan pentingnya menjaga tubuh untuk tetap sehat.

Mungkin bukan saja untuk sehat, tapi juga keuntungan buat yang lagi kasmaran. Tidak sedikit loh orang yang masih muda lari bersama. Lucu deh lihatnya. Tampang mereka yang begitu menikmati sesi berolahraga, rasa dunia milik berdua dan ingin menghentikan waktu. Tawa canda riang yang terlihat dari air muka. Bukan cuma pasangan muda yang kulihat, pasangan tua juga ada. Aku lihat mereka begitu semangat dan aduhai... masih mesra. Aku ingin bisa seperti mereka saat tua nanti. Bisa jogging atau jalan sore bersama orang yang dicintai sambil mengingat masa muda up and down, juga saat cinta mereka mulai bersemi. Indahnya hidup ini. Hehe.

Akan tetapi, semua suasana nyaman dan tentram yang telah dirajut selagi berlari santai dihancurkan oleh asap kendaraan. Ah... Aku benci mereka. Mereka egois. Tidak tahukah mereka, orang di sini, untuk mencari udara bersih dan sehat? Mereka malah membuat orang-orang tidak betah. Mereka hanya ingin enaknya saja. Inginnya sejuk sedirian, tetapi mengotori udara di jalanan Gelora Bung Karno. Inginnya santai di dalam mobil dengan mendengar lagu, tetapi membuat setiap orang yang melewati kendaraannya harus menahan bau asap berbahaya itu. Bisakah kalian matikan mesin, keluar dari kendaraan kalian, dan nikmati udara segar selagi masih ada dan bisa dihirup?

Kekesalan pada mobil seketika hilang saat melihat keceriaan anak-anak kecil melihat seorang paruh baya penjual gelembung melakukan atraksi gelembung. Mereka seperti berada di dunia khayangan dan dunia mimpi. Tawa mereka meledak dan senyuman tak henti ketika gelembung menghiasi sekeliling mereka, membuat gigi-gigi yang belum banyak tumbuh dipamerkan secara otomatis. Aku juga liat anak perempuan usia dua tahun-an yang berkaus kutang dan celana dalam pink memakai sendal bapaknya (mungkin) juga asyik dengan gelembung yang bergerak-gerak terbawa angin. Mau orang tua mereka banyak uang atau banyak hutang, semua anak, tidak terkecuali,  memang suka gelembung.

Di satu sisi aku melihat banyak keluarga yang ceria, membawa sanak saudara pergi bersantai di Senayan, menikmati angin sore yang menyejukan. Makan bersama-sama yang harganya terjangkau bagi orang awam, walau makanan sederhana. Di sisi yang lain, aku melihat nenek tua, sendirian tanpa ada pembeli, berjualan ala kadarnya dipojokan pintu masuk stadium. Kadang aku melihat ketidakadilan di dunia ini. Mungkin karena aku melihat dan mengerti separuh saja, atau mungkin seperempat dunia ini saja ya?

01 March 2013

Apa yang  sebenernya bikin perbedaan di dalam berteman dan bergaul? Kenapa bisa ada geng eksis dan geng terbuang?

"Masalahnya gampang. Lemah lembut, rendah hati, dan saling mengasihi."
- Guru Teknik Presentasi di sekolahku

Setuju banget!
"Ga semua orang Tuhan ciptakan untuk melakukan hal yang besar."