30 September 2014

Rumah dan Anjing Kesepian

Dulu tidak begini. Dulu rumah selalu ramai. Banyak orang lalu-lalang. Ada emak, papa, mama, adik mama, cici, koko, aku, dan anjing peliharaan. Ada 18 kaki yang melangkah di rumah tanpa henti. Rumah kami tidak pernah berhenti menahan beban kaki-kaki kami. Rumah tidak pernah lelah untuk menjadi tumpuan bagi kami. Kalau bisa tersenyum, rumah akan meluangkan waktu untuk tersenyum walau sudah babak belur seharian.

Sekarang berbeda. Hanya ada empat kaki yang melangkahi lantai rumahku.

Rumah begitu lenggang. Rumah terasa sepuluh kali lebih luas. Rumah terasa seratus kali lipat lebih dingin. Tidak ada kehangatan. Rumah sudah tidak memiliki kekuatan seperti dahulu karena tidak pernah dilatih menahan beban.

Rumah begitu sunyi. Hanya suara mesin air dan anjingku yang menemani rumah setiap hari. Tidak lagi ada suara bising yang aku rindukan sejak lama, yang dulu sungguh ingin aku hilangkan dari peradaban dunia. Aku rindu mendengar kebisingan di rumah. Aku rindu mendengar gelak tawa seluruh anggota keluarga di rumah.

Sekarang. Aku pergi ke kampus sampai larut. Orang tuaku pergi bekerja sampai senja. Terkadang papaku berada di rumah dan menghabiskan waktu di lantai kedua tanpa menghiraukan. Ciciku berada di luar kota dan menetap sementara di sana. Kokoku belajar di luar kota. Adik mama telah menikah dan hidup dengan suaminya. Emakku menemani sepupu tinggal di luar kota.

Kami sibuk dengan kehidupan kota yang kami miliki.

Tidak ada yang menyadari bahwa rumahku kesepian.

Tapi tak disangka, anjingku sama kesepiannya dengan rumahku. Tidak ada yang mengajak bermain. Kerjanya hanya makan, tidur dan menunggu kedatanganku agar bisa diajak bermain. Namun, usahanya selalu gagal. Aku selalu terlelap sebelum mau dan niat untuk berlari-larian dengannya.

Kasihan mereka. Kasihan mereka yang ditinggalkan kami. Mereka berjalan dengan waktu. Namun, kami dikejar oleh waktu. Itulah yang membedakan kami.