23 June 2015

Ruteng (juga) Adalah Indonesia

Kakakku baru kembali dari Ruteng, salah satu kota yang berada di Flores. Di sana, ia mengajar dan membuat taman bacaan selama kira-kira seminggu. Aku tak ingin menyerbunya dengan beribu pertanyaan. Aku tahu dia lelah karena perjalanan yang cukup menguras tenaga dan waktu. Namun, dia bercerita sedikit. Tidak banyak yang ia ceritakan tadi dari mulutnya. Namun, matanya telah menyampaikan semua cerita yang akan ia sampaikan. Matanya jujur bicara tentang ada apa di Ruteng.

Tentang bagaimana anak-anak di sana membutuhkan pendidikan yang layak, sama seperti pendidikan yang didapatkan anak ibukota. Tentang bagaimana sedihnya dia ketika tahu bahwa ia mengajar di sebuah kelas berisikan anak-anak yang belum mengerti bahasa Indonesia. Bahkan, kata “duduk” sekalipun. Akan tetapi, mereka punya keinginan untuk belajar. Untuk tahu bagaimana cara membaca dan menulis alpabet.

Aku bisa melihat dari matanya bahwa ia bersungguh-sungguh. Mata yang prihatin dan ingin membantu. Tak pernah aku melihat dia sebegitu serius menceritakan sesuatu padaku. Mungkin kalau membaca tulisan ini, ia akan kegelian sendiri karena bahasaku yang membuat tulisan ini sangat menyentuh. Aku pun begitu. Makanya aku tidak mau berlama-lama menulis ini. Takut nantinya kuhapus semua tulisan ini.

Aku tidak ingin tulisan singkat ini hanya menjadi tulisan yang melankolis. Aku menulis ini karena aku tidak ingin seorang diri yang tergerak untuk nantinya membawa sebuah perubahan, entah dalam bentuk apa. Aku tidak ingin hanya aku yang tersentuh hatinya ketika melihat foto kakakku dengan anak-anak itu. Aku ingin kamu juga merasakan hal yang sama.

Apa yang kamu rasakan saat melihat ada begitu banyak anak-anak yang belum terjamah pendidikan dan belum memiliki masa depan yang cerah? Mereka ini. Mereka ini adalah penerus bangsa kita. Sama seperti kita. Sama-sama Indonesia.

Kakakku berada di depan. Ia berkemeja ungu dengan senyum peps*dent-nya.

Kakakku berkata “Gue pengen banget, Jes, ngajak lo ke sana. Jadi inspirasi buat anak-anak di sana. Mereka butuh banget pengajar yang punya pendidikan cukup. Andaikan gue gak ada kerjaan di Jakarta. Pengen banget stay di sana.”


Hatiku bergejolak.

02 June 2015

Wisata 3 Pulau Kekuatan VOC


Waktu di perjalanan menuju pelabuhan rakyat Kamal, bokap bilang "Budi Dharma membuat karya yang luar biasa di saat ia berada di luar rutinitasnya. Maka, jadilah buku Orang-orang Bloomington. Juga pelukis yang gue lupa namanya membuat karya teramat indah. Dia melukis pemandangan Bali beserta isinya selama tiga tahun menetap di Bali."
Mejeng dulu :D
Awalnya, gue gak mau menuliskan perjalanan ini, karena gue pikir kata-kata akan hidup ketika si penulis benar-benar memberikan sentuhan-sentuhan spesial pada tuts laptopnya . Gue gak tersentuh. Gue cuman mikir dalam hati "Udah nih? Masa gini doang pulaunya?" 

Pulau yang membuatku asal menyimpulkan itu adalah Pulau Kelor, pulau pertama dari tiga pulau yang akan menjadi tujuan destinasi gue. Namanya aja Wisata Tiga Pulau. 

Di Pulau Kelor ini ada sebuah benteng. Okey. Maksudnya satu benteng. Gue kecewa karena pulau ini gak seperti pulau yang gue bayangkan bakal butuh berjam-jam untuk mengelilinginya. Pulau Kelor gue kitari dalam waktu hanya 15 menit (kira-kira). Padahal, tourguidenya bilang akan ada waktu satu jam di Pulau Kelor. Waktu itu, gue pikir sejam akan sangat kurang... EEHH taunya waktu yang dikasih itu lebih-lebih banget sampe gue ngantuk duduk di bawah pohon ditemani angin sepai-sepoi #CIATs
Kalau dilaguin cocok pake lagunya Sam Smith yang I'm Not The Only One.
Ternyata rombongannya itu bejibuns dari berbagai biro perjalanan.
Meeting point: Depan Masjid
Gue gak bisa salahkan pulau ini karena bentengnya yang udah rusak dan gak jelas bentuknya. Gue juga gak bisa salahkan pemerintah karena memang pemeliharaan benda-benda bersejarah itu menghabiskan dana yang buanyak. Pemerintah kan punya prioritasnya sendiri. Lalu, mau salahkan siapa? Entahlah.
Gak pernah ada di tulisan gue yang berkata benteng ini jelek.
Benteng ini indah banget.
Selfie mode
Ini pengen pamer foto aja. Berasa keren banget suer.
Jesi Si Bolang Bertas Neon
Bayangin aja betapa kokohnya benteng ini zaman kejayaannya

Gue udah pasrah. Gue udah gak mau berharap akan ada sesuatu yang menarik pada pulau destinasi kedua, Pulau Onrust.

Ternyata..

Banyak banget harta karun di Pulau Onrust.

Entah apa yang membuat gue tertarik sama pulau ini. Tadinya cerita tentang pulau ini gak mampu membuat gue terpukau. Tapi, arena gladiator yang diceritakan tourguide di sana membuka mata gue. Terowongan dan bilik-bilik ruang yang disampaikan tourguide mencelikkan mata gue. Astaga! Keren amat ini pulau. Kecil-kecil begini gak disangka menyimpan dan merekam begitu banyak kisah sejarah. Sayang sihh terowongan itu gak bisa dikunjungi oleh masyarakat umum.

Emang yang bikin gue tertarik sama pulau ini pertama kali adalah arena gladiatornya. Dibanding tulisan gue gak jelas juntrungannya, gue ceritain lebih dulu sejarah pulau ini kenapa disebut Onrust dan kenapa pulau ini menjadi destinasi wisata sekarang.

Onrust yang dalam bahasa Belanda artinya tanpa istirahat ini dipilih VOC sendiri untuk dijadikan tempat memperbaiki kapal. Pihak VOC waktu itu membuat perjanjian dengan Pangeran Jayakarta. Setelah sepakat, VOC memilih pulau Onrust sebagai gudang kapal, sekaligus benteng pertahanan VOC. Tanpa istirahat maksudnya adalah pulau yang selalu sibuk. Ya.. bisalah menyebut Jakarta sebagai kota Onrust. #fixgakpenting Oiya.. orang-orang di pulau seberang sihh mengenai Onrust dengan sebutan Pulau Kapal. 

Nah... VOC bubar. Inggris pernah singgah bentar terus pergi... Onrust juga pernah dipakai sebagai tempat karantina para haji. Kemudian, Jepang datang. Pihak Jepang gak mau lagi memakai Pulau Onrust sebagai pulau pertahanan karena angkatan udara musuh sudah tahu lokasi pulau ini. Makanya, Pulau Onrust gak lagi sekece zaman kolonial. Pulau Onrust dijadikan penjara buat kriminal kelas kakap. Arena gladiator yang tadi gue bilang itu buat para kriminal berkelahi menguji kekuatan masing-masing. Yang menang dapet hadiah, yang kalah ya gak bernapas lagi. Bentuk arenanya bundar kayak kolam ikan dan terbuat dari keramik... Itu sih yang gue liat dari replikanya. Bener atau enggak, gak ada yang tahu.

Waktu Indonesia udah merdeka, Onrust beralih fungsi menjadi rumah sakit karantina bagi penyakit menular. Tahun 1960-an, pulau ini gak lagi dipakai jadi rumah sakit, tapi menjadi tempat penampungan pengemis dan gelandangan. Lalu, pulau ini mulai tak terurus. Puncaknya, tahun 1968, ada pencurian bahan material secara besar-besaran. Kalian bakalan liat seberapa besar pencurian itu... Nanti gue kasih liat. Kebanyakan sisa peninggalannya cuman kakus doang. Lagian siapa yang mau nyolong kakus? Di sungai juga tinggal langsung blong.. Hehe

Empat tahun kemudian, gubenur Jakarta membuat pernyataan bahwa Pulau Onrust adalah pulau bersejarah yang dilindungi. Buset kalau empat tahun baru diurus mahh udah pasti barang-barang di sana abis dicomotin sama orang yang tangannya iseng, Pak Gub. 

Jadi lihat kan betapa menyedihkannya akhir dari kejayaan Pulau Onrust?

Ini hasil telisikan gue di seluruh area Pulau Onrust. Siap-siap ya. Fotonya gak dikit looh.

Miniatur Pulau Onrust
Coba merasakan buang air zaman kolonial
Sok-sok an jadi peneliti arkeologi
Diperkirakan ini tempat mandi berjamaah
Wastafel
Bokap gue tiap kali liat kakus selalu bilang "Kenapa, Jes? Mash ada tahinya?" 
Gue penasaran banget sama ini benda.
Kira-kira apa ya? Gue pengen coba dudukin, Tapi jijik.
Biarlah jadi misteri benda apa ini
Satu-satunya bagian bangunan yang masih utuh.
Mungkin diding kamar rumah sakit
Banyak foto berbagai jenis kakus yang gue abadikan, tetapi gue gak sanggup menunggu mereka semua di upload. Kelamaan.

Destinasi berikutnya: Pulau Cipir. Pulau yang jadi tempat nampung kebutuhan-kebutuhan VOC karena Pulau Onrust udah gak mampu menampung kapal-kapal lagi. 

Tapi karena terkena musibah (baca: topi mama hilang) di Pulau Onrust, gue jadi kehilangan semangat bertualang. Pas sampai Pulau Cipir, gue sama Bokap gue juga emang dalam kondisi kepanasan dan kelelahan. 

Tujuan pertama kami adalah pergi ke jembatan yang dibuat VOC untuk menghubungkan Pulau Onrust sam Pulau Cipir yang belum sempat gue kunjungi pas di Pulau Onrust. Kondisinya ya... sama lah kayak museum-museum di luar Jawa. Terbengkalai.
Ceilah gegayaan.
Bangunan di sini memang lebih banyak dibanding Pulau Onrust. Namun, gue rasa bangunan di sini gak setua di Pulau Onrust, makanya masih berdiri cukup kokoh. Yang uniknya adalah bentuk-bentuk rumah sakit atau rumah pasien di sini berbeda dari rumah jadul pada umumnya.

Ini sisa bangunan rumah sakit.

Akhir perjalanan yang indah adalah duduk ke pojokan di atas bebatuan. Menikmati angin dan bunyi ombak yang memecah kesunyian. And have a selfie!

Pake kacamata biar warnanya lucu :3




Di akhir tulisan ini, gue gak mau nyalahin siapaun atas kondisi ketiga pulau ini. Yang terjadi, ya gak bisa diapa-apain lagi. Tapi gue seneng masih ada usaha biar cerita tiga pulau gak hilang dibawa abrasi gitu aja. Gue berharap tourguide di Pulau Onrust gak resign dan nyari kerjaan lain. Terima kasih buat mereka yang enggak meninggalkan pulau ini, tidak perduli alasan terpaksa ataupun karena memang sudah cinta.

Thanks, Pa, buat seharian ini. Gue siap kembali ke rutinitas dengan senyum :D
Cheers.

Thanks juga buat tourguide kapal (?) yang ngasih gue buku ini