15 December 2016

Kisah Pertemuan Manusia dan Setengah Manusia

Binar. Perempuan bertubuh menjulang itu sedang asik menulis artikel yang harus selesai dalam waktu dua jam. Selalu diburu waktu. Itu keahliannya. Bermain kejar-kejaran dengan waktu. Itu kesenangannya karena dia selalu menang!

Sekarang adalah saatnya Jakarta boleh menghela napas dan berleha-leha. Makanya, Binar rela pergi ke kedai kopi kapitalis untuk mendapat ketenangan. Rumah terlalu mudah membuatnya teralih.

Angin merasuki tubuh Binar saat mengendarai motor maticnya di jalanan yang lengang. Ini bukan Jakarta yang biasa kukutuki, pikirnya. Dalam 365 hari, hanya satu hari Binar tidak mengutuki Jakarta, yaitu saat hari raya Lebaran. Wajar kalau Binar selalu menolak pergi bersama orang tuanya pergi ke kampung halaman saat libur Lebaran. Dia akan menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana liburan sekeluarga. Dan, selalu berhasil.  

Di sisi lain. 
            
Banyu. Laki-laki berdarah Jawa-Cina ini bingung mau melakukan apa lagi. Tadi pagi aku sudah olahraga dan membuang-buang waktu dengan mengobrol lama bersama tukang bubur di Senayan, pikirnya. 
            
Mandi. Sikat gigi. Berpakaian seadanya. Kaus hitam dan celana hitam. Jam tangan tidak pernah lupa. Gawai canggih teranyar dan komputer mini kekinian adalah nyawanya.
            
Destinasi? Tentu kedai kopi karena di situlah rumah keduanya. Separuh jiwanya berada di kedai kopi. Itulah Banyu. 
       
Vespa klasik terparkir manis di depan rumah gedongan milik pamannya. Keduanya yang sama-sama melajang segera bersiap. Menikmati sejuknya hari Lebaran. Udara yang begitu bersahabat membuat Banyu ingin menghentikan waktu. Vespa dikendarai dengan kecepatan stabil. Tidak  terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Katanya, “Andai momen ini dapat kumasukkan ke dalam botol dan sewaktu-waktu kubuka saat penat dengan Jakarta yang penuh keramaian ini,” sambil menghela napas dan tanpa sadar menyunggingkan senyum di wajahnya. 



“Hmm.. Aku pilih ini atau yang itu, ya? Yang ini belum pernah kucoba. Tapi, yang itu memang sudah pasti tidak akan mengecewakanku.”
“Mbak? Jadi, mau pesan yang mana?”
“Eh iya, Mas. Aku pesen Almond Joy Coffee. Extra whipped cream, ya”

Memang dasar Binar si perempuan yang sulit mengambil keputusan. Bahkan, untuk memutuskan minuman yang akan dibeli pun perlu membutuhkan waktu dan perenungan yang panjang. Hidupnya terlalu teratur dan otaknya terlalu banyak memikirkan hal yang tidak pantas dipikirkan berlarut-larut. Dia membutuhkan seorang penyelamat!

Selagi menunggu si barista membuatkan pesanannya, Binar melayangkan pandang ke seluruh sudut kedai kopi. Sepi. Hari ini pukul 2 siang. Hanya ada dia dan barista. “Creepy banget. Kayak apocalypse day, nih,” dia senyam-senyum kegelian karena pikirannya melantur ke mana-mana. 



Banyu membelokkan setirnya ke arah pojokan dekat pohon beringin agar Vera, panggilan sayang untuk vespanya, terlindung dari sinar matahari. 

Pintu dibuka dan mengeluarkan suara cukup nyaring karena lonceng-lonceng kecil yang tergantung pasrah di kusen pintu antik itu. “Sudah kuduga. Sepi kayak kuburan,” katanya dalam hati. 

“Ehh… Ternyata aku nggak sendirian banget. Itu perempuan bening ngapain sendirian di sini? Duduk ah sebelahnya… Bosen juga ngobrol sama baristanya tiap kali ke sini.”



“Hai. Boleh duduk di sebelahmu?”
“...”
“Duh, awkward deh,” dalam hati Banyu. “Ah. Tapi, nanggung. Biar sekalian malu.” perang singkat terjadi dalam pikiran Banyu. 
“HAI!”
“Oh. Hai!”
“Duduk di sebelah sini, ya?”
“Boleh-boleh. Silakan”

*sunyi*
*10 menit*
*30 menit*
*satu jam*

“AKHIRNYA!!”

Banyu yang kaget setengah mati langsung mengalihkan pandangannya ke Binar. Binar yang baru sadar kalau dia tidak sedang berada di rumah merasa bersalah telah membuat jantung orang melompat keluar dari tubuhnya beberapa detik.  

“Maaf… Hahaha. Kaget, ya?”
“Hehehe. Iya.”

*sunyi lagi*

Binar berdiri, merenggangkan badan, dan pergi memesan minuman. Lalu, kembali ke kursi empuknya sambil memegang minuman fancy. Disambut dengan Banyu yang memulai pembicaraan.

“Lebaran gini. Kok sendiri aja di kedai kopi kayak gini?”
“Haha. Kapan lagi kamu bisa bersahabat dengan Jakarta kalau bukan saat Lebaran?”
“Setuju! Rasanya kalau bisa udara dan kesunyian Jakarta bisa aku simpan di dalam kantong plastik. Pasti sekarang rumah aku penuh dengan kantong plastik. That’s for sure!”
“Ehiya. Belom kenalan kan kita.”
“Sampai lupa. Aku Banyu.”
“Aku Binar.”
“Aku suka nama kamu,” sahut mereka bersamaan. Mereka terdiam dan agak tersipu. 

Mereka menyeruput minuman mereka untuk mengurangi kekakuan yang memenuhi ruangan itu. 

“Kuliah atau kerja?” tanya Banyu memecah keheningan. 
“Kuliah dan kerja sambil-sambil.”
“Wah. Keren.”
“Kamu, Bay? Eh. Aku gimana manggil kamu, nih?”
“Terserah kamu. Ba, boleh. Nyu, boleh. Sayang juga boleh,” balas Banyu dengan bodohnya.
“...”
“Hahaha. Maaf. Bercanda. Aku cuman pengen mencairkan suasana aja,” jawab Banyu dengan polos.
“Garing juga, ya?” Entah darimana keberanian Binar berbicara lancang seperti ini pada orang baru. 
“Bay. Kamu belum jawab pertanyaanku. Kerja atau kuliah?”
“Muka kayak gini masih pantas kuliahan? Hahaha. Aku udah kerja.”

Baru saat ini Binar memerhatikan Banyu. Tingginya tidak begitu jauh dengan dirinya. Wajahnya teduh. Ganteng? Biasa saja, sih. “Wah, itu perutnya maju atau lipatan pakaian, ya?” pikir Binar secepat kilat. Lalu, ia tersadar bahwa lamunannya mulai mengarah ke arah yang tidak seharusnya. Ia sudah melabeli Banyu dari pertemuan sesaat ini dengan sebuah kesimpulan. Banyu adalah spesies yang tidak ada bedanya dengan orang-orang lain. Manusia 100%. Satu lagi manusia 100% hadir dalam hidupnya. Ada perasaan kecewa, walau tidak nampak dalam air mukanya.



“Hal yang paling sampah ketika kamu menjadi dewasa. Apakah itu, Bay?”
“Terjebak dalam perangkap dunia kapitalis. Menjadi budak kapitalis. Aneh pertanyaanmu. Tapi, aku suka. Sudah lama nggak mendengar pertanyaan bebauan utopis seperti ini.”
“Kenapa menyimpulkan pembicaraan ini utopis?”
“Aku bisa menghujat diriku sendiri yang sudah masuk ke dalam lubang. Dan, rasanya sekarang aku bukanlah pihak yang disalahkan. Diriku yang masuk lubang itu yang patut dipersalahkan.”
“Hahaha.”

“Kalau aku tebak, usiamu tidak lebih dari 25. Benar, kan, Binar?”
“Yap.”
“Di masa nanggung seperti ini, apa yang paling kamu nikmati?”
Pertanyaan ini. Tak seharusnya datang dari spesies sejenismu, kata Binar dalam hati yang terdalam. 
“Aku masih diberi kesempatan untuk mencicipi dunia sebenarnya, tapi dalam kadar yang rendah. Kalau diilustrasikan sama perokok, ya, pemula yang cobain rokok rasa-rasa.”
“Kamu merokok?”
“Hahaha. Kalau langit mengizinkan.”
“Caranya tahu?”
“Ketika hujan.”
“Kenapa?”
“Enak aja. Syahdu.”
“Haha. Dasar.”




Binar melihat Banyu sebagai manusia yang utuh. Seperti penuturan Banyu, manusia yang sudah terjebak dalam sumur kapitalisme, namun belum menyerah untuk mencari udara di luar sumur. Tapi, pembawaannya yang santai dan tenang membuat Binar nyaman berbicara dengan spesies yang ternyata agak berbeda dari spesies mayoritas di dunia. Inilah hal yang paling ia sukai ketika berbicara dengan laki-laki yang matang. Emosi dan pikirannya stabil. Hanya itu yang mampu menghanyutkan Binar. Dan, Banyu punya keduanya. 

Banyu melihat Binar sebagai manusia setengah. Banyu suka ledakan-ledakan pikiran yang dimiliki Binar. Pikiran Binar jernih. Kejernihan itu menciptakan pembawaan Binar yang jenaka sehingga hatinya sedikit tergugah. 



“Mau pergi ke suatu tempat yang menarik nggak, Binar?”
“Kamu nggak mau culik aku, kan?”
“Pengen sih. Tapi, aku akan kepusingan meladeni kamu dengan pikiran-pikiranmu yang antik itu. Jadi, aku mengurungkan niat.”
“Jadi?”
“Aku ajak kamu pergi aja. Janji nggak diculik.”
“Setuju!”
“Kamu bawa kendaraan?”
“Bawa. Gimana dong?”
“Maunya?”
“Aku mau bawa motor kusendiri ah. Mau menikmati angin sore yang segar di Jakarta.”
Banyu membalas dengan senyum yang manis seakan jika dapat dituliskan dengan kata, akan begini bunyinya “Bolehkah aku permisi masuk ke dalam hidupmu, Binar?”




Mereka menaiki kendaraan mereka. Dan, berkendara berdampingan seperti orang yang terlalu bingung harus bagaimana menghabiskan waktu-waktunya ke depan. Tapi, mereka tidak bingung. Mereka menikmati tiap detik yang berjalan dan tiap darah yang mengalir di dalam nadi. Semuanya terasa dalam mimpi, namun begitu nyata. 

Mereka tahu kisah mereka tidak berakhir, walau halaman ini berakhir di sini.