21 September 2012

Manusia yang Tidak Dimanusiakan

Latar situasi : Pelajaran Geografi
Lokasi : Sekolahku, Kemayoran, Jakarta Pusat

Aku sedang belajar demografi. Demografi itu hubungannya dengan kependudukan. Entah sejauh apa ngalur ngidul dengan guru Geografiku, akhirnya membahas UMR di Jakarta.

UMR (Upah Minimum Regional). Masalah yang tiada ujung pembahasannya. Ada yang merasa puas, ada juga yang merasa tidak adil. Ada yang merasa diuntungkan, ada yang merasa tidak dimanusiakan. Pasti pada akhirnya ada yang harus dikorbankan karena suatu kepentingan.

Awalnya, guruku, Pak Junius, bertanya 'menurut kalian, gaji minimun seseorang berapa?' ada yang bilang 2,5 juta. Aku tidak sependapat. Aku menjawab dalam hati 1,1 juta. Pak Jun menghitung kotor di papan tulis seseorang dengan gaji 2,5 juta. Menurut perhitungan kami, satu hari dapat 30.000 (kurang lebih). Itu sih masih lumayan. Lalu, Pak Ajun bilang 'UMR di Jakarta itu 700.000'. Yang dihitung-hitung, sehari dapat jatah 17.000 (kalau aku tidak salah). Kalau penasaran, kalian boleh coba hitung sendiri.

Rasanya ingin menangis. Sungguh. Aku terdiam sejenak. Pikiranku melayang-layang di udara, menyusuri rumah-rumah di pinggir rel kereta api sampai bantaran sungai. Aku tidak mengira UMR di Jakarta, ibukota nan megah Indonesia, begitu rendah. Mereka, pekerja buruh, seorang manusia, tetapi tidak diberikan hak sebagai 'pribadi' manusia. Aku tidak dapat membayangkan 700.000 untuk satu bulan hidup. Uang sewa rumah, makan, obat, transport, belum lagi kalau punya anak banyak dan untuk urusan sekolah mereka. Bisa gila hidup di kota.

Dan perlu tahu 700.000 itu adalah UMR di Jakarta, kota besar yang katanya maju dan moderen. Bagaimana dengan UMR di daerah pelosok di Indonesia? Juga setiap penyimpangan dalam pelaksanaan UMR? Semakin dipikirkan, semakin pilu. Nyeri seperti ribuan jarum siap menusuk badanku. Aku ingin membantu, tetapi aku kembali dihalangi oleh ingatan 'Gue cuman anak kelas 11 doang'. Sekarang bukan waktunya, mungkin nanti .

Aku hidup di sebuah kotak puzzle yang isinya ribuan keping. Dan sekarang aku sudah sudah menemukan satu keping dari sekian ribu. Satu keping itu memberikan petunjuk kehidupan manusia yang penuh intrik. Kehidupan itu yang mulai memperlihatkan batang hidungnya di hadapanku dalam proses, tidak tahu itu panjang atau pendek.

20 September 2012

Serasa Mau Nyoblos Beneran

Teman-temanku lucu. Mereka bak tim sukses bapak mantan walikota Solo yang sukses itu, Pak Jokowi. Ada saja saat untuk membicarakan pidato calon gubernur. Bapak berperawakan kurus, tetapi ramah dan kalem itu. Bahkan hampir setiap guru yang masuk ke dalam kelasku, 11 SOS, 'dipaksa' dengan lembut untuk memilih calon gubernur favorit mereka itu.

Sungguh lucu. Padahal hanya dua temanku yang sudah bisa mencoblos. Sebenarnya ada tiga, tapi yang satu ini tidak legal. Jadi aku tidak tahu juga dia bisa ikut berpartisipasi atau tidak. Mereka, tepatnya salah seorang dari mereka (kupikir), telah mempengaruhi aku dan teman sekelas. Kami sudah disihir.

Serasa aku sudah saatnya untuk mencoblos saja. Terus dijejalkan semua kelemahan dari lawan idola teman-temanku.

Para pahlawan '45 terus menyuarakan kemerdekaan. Kalau kelasku, mereka juga dengan semangat '45 menyuarakan motto 'Jakarta Baru' milik Pak Jokowi - Basuki, lengkap dengan dialog dan kronologi adegan dalam final cagub di suatu siaran tv swasta. Mereka menghapal setiap dialog dengan fasih dan sangat baik, seperti sedang menunggu detik-detik ulangan harian di sekolah. Lebih  fasih daripada mereka menghapal rumus matematika yang menjadi bahan ulanganku.

Saat ini sepertinya 'semua' anak sibuk mengkampanyekan idola mereka. Mulai dari anak SMP sampai anak SMA. Bukan cuma kelasku saja loh. Tumben. Jarang terjadi hal seperti ini. Mungkin dulu juga aku tidak pernah memperhatikan karena masih bocah. Tapi kurasa kali ini beda. Tidak seperti pilkada lainnya.

Ada semangat, juga pengharapan akan masa depan kota Jakarta ini.

Tinggal beberapa saat lagi, mereka akan tersenyum lebar atau kecewa setengah mati. Aku juga berharap sih mereka akan tersenyum lebar sambil memamerkan gigi-gigi mereka sampai kering. Sangat malah.