11 June 2016

Kata Hanya Rangkaian Huruf Saja

Mungkin bener kata papa gue soal tulisan gue yang kebanyakan bicara soal hal-hal yang berbau sedih, menggerutu, dan membawa hawa negatif. Dan mungkin satu ini juga akan menambah jajaran tulisan yang sedih itu.

Pernah gak berada di situasi lu melihat sesuatu yang tidak salah terjadi, tapi lu gak punya kuasa untuk mengubah sedikitpun? Kejadian itu lewat begitu aja. Hidup lu kembali berjalan dengan normal. Tapi semuanya udah terlanjut terekam dalam hati lu.

Gue merumuskan perasaan itu menjadi formula. Semuanya itu terangkum dalam dua kalimat ini.
"Maaf. Aku gak bisa bantu apa-apa."

Enam kata itu datang tiba-tiba tanpa mengetuk pintu hati gue terlebih dahulu. Yang konon gue dengar, kata punya kekuatan yang hebat untuk mengubah sesuatu. Untuk situasi tertentu, mereka gak mampu mengubah apa-apa. Mereka hanya keluar begitu saja dari dalam hati dan terdengar melalui mulut kita. Sisanya, tidak berdampak sama sekali.

Dia datang ketika gue sedang duduk manis di kursi penumpang bus berwarna oren dan memiliki halte sentral di Harmoni. Bus itu penuh dengan orang-orang pulang kerja yang mukanya sudah gak terdefinisikan lagi: butek gak jelas. Semuanya muram, tambah muram karena pencahayaan yang kurang. Hanya ada segelintir orang, bisa dihitung dengan tangan, tertawa tertahan ketika asik dengan ponsel pintar mereka. Mata gue tertuju pada kenek (gue gak tau sebutan bagus apa lagi untuk pekerjaan ini) bus yang ternyata menyimpan kelelahan sendirian.

Dia juga datang pas gue melihat seorang kakek atau nenek yang lagi menjajakan barang dagangannya. Di satu sisi, mungkin mereka melakukan ini karena bosan mengganggur di rumah. Gue gak masalah kalau alasannya itu. Tapi, kalau alasannya untuk menyambung hidup, gue jadi prihatin. Mengapa orang serenta mereka harus tetap panas-panasan di jalan? Mengapa juga mereka harus tertidur di pinggir jalan saat siang bolong karena kelelahan berdagang? Padahal ada banyak nenek dan kakek yang dapat hidup enak di rumahnya sambil baca koran dan minum teh di pagi hari dan tidur siang di tempat yang nyaman.

Dia kembali datang. Saat orang tua gue lagi mengalami kesulitan ekonomi. Sayangnya, gue bukan lagi anak kecil yang bisa menghibur orang tua gue lewat lelucon atau tindakan yang konyol dan bodoh khas anak kecil. Hal-hal yang dulu bisa bikin orang tua gue sedikit melupakan beban mereka sudah basi buat gue lakukan di umur gue yang terbilang nanggung ini. Gue pun belum menghasilkan sesuatu buat bantuin keluarga gue. Gue merasa gak berdaya. Buat suasana jadi lebih baik pun, gue gak sanggup karena sudah larut di dalam kemurungan.

Apa sih di balik enam kata itu sebenarnya?
Enam kata ini sederhana. Hanya 2 kalimat. Cuma gue melihat makna kata ini dalem banget. Dari kata ini, gue tahu bahwa gak semua hal bisa beres di tangan kita karena di sini yang ngendaliin bukan manusia. Ada pula hal-hal yang terjadi di luar kendali kita. Oleh karena itu, pasti ada sesuatu yang lebih besar yang punya kontrol atas setiap kejadian di muka bumi ini. Kalau meminjam istilah dalam filsafat, unmoved mover, yaitu penggerak yang tidak gerakkan. Sampai menginjak usia 20, gue masih percaya pengendali itu adalah Tuhan.

Perempuan Belum Ber-Diri

Aku ingin bercerita tentang seorang anak. Tak perlu lah kusebut namanya.

Aku tidah tahu harus dan bisa berbuat apa, tapi aku tidak ingin anak ini merasa sendirian. Aku tidak tahu apakah kedatanganku setiap liburan semester akan menghibur hatinya atau tidak. Aku berharap iya.

Aku rasanya ingin mendoakan agar dia menjadi anak yang cuek yang tidak perlu repot mengurusi perkataan menyakitkan yang keluar dari mulut orang lain. Aku tidak tahu harus berbuat apa-apa. Lagi-lagi hanya itu yang bsia kukatakan. Inilah hal yang tidak ku suka. Ketika melihat sesuatu yang salah, tetapi kamu hanya bisa terus berjalan di jalurmu dan tidak bisa memperbaikinya. Ingin rasanya ikut campur, tetapi otak rasionalku menahan langkahku. Aku bukan siapa-siapa.

Suatu waktu, ia bertanya "Kalau kakak jadi aku, kakak pilih tinggal sama mama atau papa?" Aku kaget dengan apa yang ia tanyakan. Aku berusaha keras memutar otak. Mencari-cari jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Yang kutemukan adalah "Kakak gak mau jawab. Coba kamu pikir mana yang bisa bikin kamu kayak di rumah." Dia terdiam. Terdiam karena tidak mengerti. Aku tidak menyalahkannya karena ia tidak mengerti. Entah kenapa muncul rasa lega juga karena dia tidak mengerti, Biar dia tidak usah menyimpulkan yang aneh-aneh dari jawabanku.

Dia masih begitu polos. Menceritakan segalanya tanpa ada rasa segan, malu, atau sungkan. Semua ceritanya mengalir seperti aku sudah menjadi bagian dalam keluarganya sehingga tidak perlu ada hal yang ditutupi. Aku banyak bertanya. Aku banyak ingin tahu. Aku juga ingin memberi tahu bahwa perhatian ini kutumpahkan melalui bertubi-tubi pertanyaan yang kulontarkan itu.

Sekali lagi kutegaskan. Dia masih begitu polos. Raut wajahnya yang begitu jujur. Aku berharap kepolosannya itu tidak dinodai oleh orang-orang yang punya motivasi hidup yang salah atau pikiran yang miring karena memilih jalan hidup yang salah. Perilakunya sekarang merupakan hasil dari apa yang dia lihat dari orang-orang yang dia sayangi. Aku tahu dia punya hati yang tulus, namun tertutupi oleh sesuatu entah apa.

Adik kecilku ini masih belum menemukan dirinya. Bahkan, belum mau mencari. Saat waktu itu tiba, aku harap aku ataupun siapapun akan pergi mengantar dia untuk membeli peta agar tidak tersesat di jalan mencari dirinya.

Aku tahu satu hal. Alur ceritaku tidak jelas. Aku pun tidak tahu apa yang kalian tangkap dari ceritaku. Kalian juga yang akhirnya punya kesimpulan dari setiap bacaan yang kalian baca kan? Aku membebaskanmu untuk punya pemikiran sendiri setelah membaca postinganku.

Sangat boleh.

08 June 2016

Catatan Seorang Prokrastinator

Hello. Happy to be back! Bagaimana kabar kalian? Bagaimana kondisi tubuh kalian setelah seminggu atau dua minggu dicekik oleh UAS? Masih waras?
Kalau aku setengah sehat. Alasanku menulis pada hari ini karena otakku mau kudinginkan dulu setelah mengalami pertempuran hebat dengan waktu. Aku pikir mengunjungi blogku yang usang ini cara yang menyenangkan untuk bersantai.

Mari kita beralih pada judul postingan ini. Terdengar familiar, ya? Aku teringat Soe Hok Gie dalam bukunya, Catatan Seorang Demonstran. Buku itu menceritakan hari demi hari yang ia lalui selama memperjuangkan kebenaran. Kalau judul postingan ini? Catatan seorang prokrastinator berisi perjuangan seorang prokrastinator selama dua minggu untuk mengakhiri semesternya dengan tenang (kata terakhir adalah dusta).

Siapa dia? Kamu tahu jawabannya. Aku tidak bermaksud memberi label pada diri, namun itu apa adanya aku. Paling tidak sampai detik tadi.

Sekarang aku terbiasa dengan jenis paragraf rata kanan-kiri, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12, dengan spasi 1,5. Lalu, urusannya apa? Tidak ada.

Sampai detik tadi, aku hanya berkata dalam hati,"Gila. Gila. Gila.", sambil menggelengkan kepalaku dan senyum tidak mengenakan. Aku heran kenapa aku begitu menikmati statusku sebagai seorang prokrastinator. Aku mencoba berpikir sejenak. Sebentar saja dan tidak buru-buru. Aku sudah lelah berpikir terlalu cepat selama proses pengerjaan makalahku. Sungguh menguras seluruh tenaga. Kalau saja, tenaga-tenaga ahli dalam otakku boleh memilih otak mana yang mereka mau jadikan tempat kerja, sepertinya akan jarang tenaga ahli yang mau menetap di kantorku. Mereka akan pergi perlahan-lahan karena tahu bagaimana besar amarahku kalau aku mendapati mereka pindah ke otak orang lain! Apalagi di saat aku sangat sedang membutuhkan mereka.

Aku menemukan satu poin. Aku senang dengan adrealin mengumpulkan tugas di detik-detik terakhir atau menit-menit selanjutnya dan saat tahu bahwa tugasku masih diterima. Rasanya aku ingin sekali menceritakannya ke seluruh pelosok kampus dan berkata, "Aku bisa mengerjakan ini hanya dalam hitungan jam!" Rasanya aku pantas mendapatkan piagram sebagai orang terhormat dan orang keren(kalimat ini mengandung hiperbola tinggi). Aku seperti sedang bermain dengan waktu. Dan tebak siapa pemenangnya?

Kamu pasti pikir aku setengah miring? Ya, aku mulai ragu dengan kewarasanku. Jadi, mari kita lanjutan supaya dapat mengambil kesimpulan bersama.

Sebenarnya menjadi prokrastinator bukanlah pilihan yang benar-benar kupilih. Ini adalah pilihan yang kuambil secara tidak sadar saat aku tahu bahwa waktu berjalan begitu cepat dan belum ada satu pun tugas yang rampung. Akhirnya, memang jadi pilihan yang paling nikmat untuk kuambil saat itu karena aku bingung harus memulai darimana (alasan macam apa ini). Aku terlalu asik dengan kebingungan itu dan lupa untuk membuat tugas-tugas itu. Hapus kata "lupa" itu dan ganti dengan "tidak".

Aku mencoba menghalalkan cara ini, seperti teman-temanku. Aku menganti layar komputerku dengan ini. Hasilnya?

Coba liat baik-baik apa yang ada di dalam layar komputerku

Gagal. Hanya bekerja selama 2 hari sampai 4 hari saja. Kurasa gambar-gambar ini harus selalu kuperbaharui setiap kali aku bosan, ya? Mungkin satu hari lima kali. Lalu, kapan aku mengerjakan tugas, dong? Hehe.

Kupikir ada hal yang selalu berhasil membuatku jadi prokrastinator. Padahal di awal semester sudah membuat sumpah palapa ala Gajah Mada bahwa tidak ingin mengulangi kebodohan yang lalu. Namun, tidak akan kupungkiri kerja otakku menjadi jauh lebih efisien jika berada di situasi genting. Aku tidak berani membuka situs-situs yang lain selain search engine untuk mencari bahan data (tentu tidak dari situs blog karena validitas data tersebut rendah). Tidak ada musik. Hanya ada hawa ketegangan dan mistis. Aku berharap segala gejala kepanikan yang kurasakan tidak mengurangi umur hidupku. Jantungku berdegup keras setiap kali aku melihat jam yang menunjukkan satu jam lagi batas waktu pengumpulan tugas. Dapat kamu bayangkan kalau setiap mengerjakan ujian take home dan tugas aku harus melewati workout jantung ini, seberapa besar otot jantungku karena sifat menundaku ini. 

Satu hal yang tidak kusukai adalah ketika aku membela diriku dengan berkata, "Namanya juga anak mahasiswa. Wajar." Saran yang sangat tidak konstruktif dan tidak solutif! Ini hanya membuat orang tipeku membuat alasan-alasan yang bertele-tele dan menyerah di ujung jalan.

Jangan seperti ini, ya?

Aku pernah belajar filsafat. Aku lupa siapa dia dan tidak perlu lah kita melulu mementingkan nama tokoh besar karena dia akan selalu dikenang dunia. Dia berkata, "Setiap detik kita adalah manusia yang baru sama seperti saat kita menginjakkan kaki ke aliran sungai. Aliran tersebut tidak pernah sama tiap detik"

Selalu ada peluang untuk berubah, bukan?

Selamat liburan! Jangan lupa membaca buku, ya! Buku dapat membuatmu sedikit pintar dan tidak begitu kaget saat masuk kuliah dan mendaati banyak bahan bacaan yang perlu dibaca.