15 December 2016

Kisah Pertemuan Manusia dan Setengah Manusia

Binar. Perempuan bertubuh menjulang itu sedang asik menulis artikel yang harus selesai dalam waktu dua jam. Selalu diburu waktu. Itu keahliannya. Bermain kejar-kejaran dengan waktu. Itu kesenangannya karena dia selalu menang!

Sekarang adalah saatnya Jakarta boleh menghela napas dan berleha-leha. Makanya, Binar rela pergi ke kedai kopi kapitalis untuk mendapat ketenangan. Rumah terlalu mudah membuatnya teralih.

Angin merasuki tubuh Binar saat mengendarai motor maticnya di jalanan yang lengang. Ini bukan Jakarta yang biasa kukutuki, pikirnya. Dalam 365 hari, hanya satu hari Binar tidak mengutuki Jakarta, yaitu saat hari raya Lebaran. Wajar kalau Binar selalu menolak pergi bersama orang tuanya pergi ke kampung halaman saat libur Lebaran. Dia akan menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana liburan sekeluarga. Dan, selalu berhasil.  

Di sisi lain. 
            
Banyu. Laki-laki berdarah Jawa-Cina ini bingung mau melakukan apa lagi. Tadi pagi aku sudah olahraga dan membuang-buang waktu dengan mengobrol lama bersama tukang bubur di Senayan, pikirnya. 
            
Mandi. Sikat gigi. Berpakaian seadanya. Kaus hitam dan celana hitam. Jam tangan tidak pernah lupa. Gawai canggih teranyar dan komputer mini kekinian adalah nyawanya.
            
Destinasi? Tentu kedai kopi karena di situlah rumah keduanya. Separuh jiwanya berada di kedai kopi. Itulah Banyu. 
       
Vespa klasik terparkir manis di depan rumah gedongan milik pamannya. Keduanya yang sama-sama melajang segera bersiap. Menikmati sejuknya hari Lebaran. Udara yang begitu bersahabat membuat Banyu ingin menghentikan waktu. Vespa dikendarai dengan kecepatan stabil. Tidak  terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Katanya, “Andai momen ini dapat kumasukkan ke dalam botol dan sewaktu-waktu kubuka saat penat dengan Jakarta yang penuh keramaian ini,” sambil menghela napas dan tanpa sadar menyunggingkan senyum di wajahnya. 



“Hmm.. Aku pilih ini atau yang itu, ya? Yang ini belum pernah kucoba. Tapi, yang itu memang sudah pasti tidak akan mengecewakanku.”
“Mbak? Jadi, mau pesan yang mana?”
“Eh iya, Mas. Aku pesen Almond Joy Coffee. Extra whipped cream, ya”

Memang dasar Binar si perempuan yang sulit mengambil keputusan. Bahkan, untuk memutuskan minuman yang akan dibeli pun perlu membutuhkan waktu dan perenungan yang panjang. Hidupnya terlalu teratur dan otaknya terlalu banyak memikirkan hal yang tidak pantas dipikirkan berlarut-larut. Dia membutuhkan seorang penyelamat!

Selagi menunggu si barista membuatkan pesanannya, Binar melayangkan pandang ke seluruh sudut kedai kopi. Sepi. Hari ini pukul 2 siang. Hanya ada dia dan barista. “Creepy banget. Kayak apocalypse day, nih,” dia senyam-senyum kegelian karena pikirannya melantur ke mana-mana. 



Banyu membelokkan setirnya ke arah pojokan dekat pohon beringin agar Vera, panggilan sayang untuk vespanya, terlindung dari sinar matahari. 

Pintu dibuka dan mengeluarkan suara cukup nyaring karena lonceng-lonceng kecil yang tergantung pasrah di kusen pintu antik itu. “Sudah kuduga. Sepi kayak kuburan,” katanya dalam hati. 

“Ehh… Ternyata aku nggak sendirian banget. Itu perempuan bening ngapain sendirian di sini? Duduk ah sebelahnya… Bosen juga ngobrol sama baristanya tiap kali ke sini.”



“Hai. Boleh duduk di sebelahmu?”
“...”
“Duh, awkward deh,” dalam hati Banyu. “Ah. Tapi, nanggung. Biar sekalian malu.” perang singkat terjadi dalam pikiran Banyu. 
“HAI!”
“Oh. Hai!”
“Duduk di sebelah sini, ya?”
“Boleh-boleh. Silakan”

*sunyi*
*10 menit*
*30 menit*
*satu jam*

“AKHIRNYA!!”

Banyu yang kaget setengah mati langsung mengalihkan pandangannya ke Binar. Binar yang baru sadar kalau dia tidak sedang berada di rumah merasa bersalah telah membuat jantung orang melompat keluar dari tubuhnya beberapa detik.  

“Maaf… Hahaha. Kaget, ya?”
“Hehehe. Iya.”

*sunyi lagi*

Binar berdiri, merenggangkan badan, dan pergi memesan minuman. Lalu, kembali ke kursi empuknya sambil memegang minuman fancy. Disambut dengan Banyu yang memulai pembicaraan.

“Lebaran gini. Kok sendiri aja di kedai kopi kayak gini?”
“Haha. Kapan lagi kamu bisa bersahabat dengan Jakarta kalau bukan saat Lebaran?”
“Setuju! Rasanya kalau bisa udara dan kesunyian Jakarta bisa aku simpan di dalam kantong plastik. Pasti sekarang rumah aku penuh dengan kantong plastik. That’s for sure!”
“Ehiya. Belom kenalan kan kita.”
“Sampai lupa. Aku Banyu.”
“Aku Binar.”
“Aku suka nama kamu,” sahut mereka bersamaan. Mereka terdiam dan agak tersipu. 

Mereka menyeruput minuman mereka untuk mengurangi kekakuan yang memenuhi ruangan itu. 

“Kuliah atau kerja?” tanya Banyu memecah keheningan. 
“Kuliah dan kerja sambil-sambil.”
“Wah. Keren.”
“Kamu, Bay? Eh. Aku gimana manggil kamu, nih?”
“Terserah kamu. Ba, boleh. Nyu, boleh. Sayang juga boleh,” balas Banyu dengan bodohnya.
“...”
“Hahaha. Maaf. Bercanda. Aku cuman pengen mencairkan suasana aja,” jawab Banyu dengan polos.
“Garing juga, ya?” Entah darimana keberanian Binar berbicara lancang seperti ini pada orang baru. 
“Bay. Kamu belum jawab pertanyaanku. Kerja atau kuliah?”
“Muka kayak gini masih pantas kuliahan? Hahaha. Aku udah kerja.”

Baru saat ini Binar memerhatikan Banyu. Tingginya tidak begitu jauh dengan dirinya. Wajahnya teduh. Ganteng? Biasa saja, sih. “Wah, itu perutnya maju atau lipatan pakaian, ya?” pikir Binar secepat kilat. Lalu, ia tersadar bahwa lamunannya mulai mengarah ke arah yang tidak seharusnya. Ia sudah melabeli Banyu dari pertemuan sesaat ini dengan sebuah kesimpulan. Banyu adalah spesies yang tidak ada bedanya dengan orang-orang lain. Manusia 100%. Satu lagi manusia 100% hadir dalam hidupnya. Ada perasaan kecewa, walau tidak nampak dalam air mukanya.



“Hal yang paling sampah ketika kamu menjadi dewasa. Apakah itu, Bay?”
“Terjebak dalam perangkap dunia kapitalis. Menjadi budak kapitalis. Aneh pertanyaanmu. Tapi, aku suka. Sudah lama nggak mendengar pertanyaan bebauan utopis seperti ini.”
“Kenapa menyimpulkan pembicaraan ini utopis?”
“Aku bisa menghujat diriku sendiri yang sudah masuk ke dalam lubang. Dan, rasanya sekarang aku bukanlah pihak yang disalahkan. Diriku yang masuk lubang itu yang patut dipersalahkan.”
“Hahaha.”

“Kalau aku tebak, usiamu tidak lebih dari 25. Benar, kan, Binar?”
“Yap.”
“Di masa nanggung seperti ini, apa yang paling kamu nikmati?”
Pertanyaan ini. Tak seharusnya datang dari spesies sejenismu, kata Binar dalam hati yang terdalam. 
“Aku masih diberi kesempatan untuk mencicipi dunia sebenarnya, tapi dalam kadar yang rendah. Kalau diilustrasikan sama perokok, ya, pemula yang cobain rokok rasa-rasa.”
“Kamu merokok?”
“Hahaha. Kalau langit mengizinkan.”
“Caranya tahu?”
“Ketika hujan.”
“Kenapa?”
“Enak aja. Syahdu.”
“Haha. Dasar.”




Binar melihat Banyu sebagai manusia yang utuh. Seperti penuturan Banyu, manusia yang sudah terjebak dalam sumur kapitalisme, namun belum menyerah untuk mencari udara di luar sumur. Tapi, pembawaannya yang santai dan tenang membuat Binar nyaman berbicara dengan spesies yang ternyata agak berbeda dari spesies mayoritas di dunia. Inilah hal yang paling ia sukai ketika berbicara dengan laki-laki yang matang. Emosi dan pikirannya stabil. Hanya itu yang mampu menghanyutkan Binar. Dan, Banyu punya keduanya. 

Banyu melihat Binar sebagai manusia setengah. Banyu suka ledakan-ledakan pikiran yang dimiliki Binar. Pikiran Binar jernih. Kejernihan itu menciptakan pembawaan Binar yang jenaka sehingga hatinya sedikit tergugah. 



“Mau pergi ke suatu tempat yang menarik nggak, Binar?”
“Kamu nggak mau culik aku, kan?”
“Pengen sih. Tapi, aku akan kepusingan meladeni kamu dengan pikiran-pikiranmu yang antik itu. Jadi, aku mengurungkan niat.”
“Jadi?”
“Aku ajak kamu pergi aja. Janji nggak diculik.”
“Setuju!”
“Kamu bawa kendaraan?”
“Bawa. Gimana dong?”
“Maunya?”
“Aku mau bawa motor kusendiri ah. Mau menikmati angin sore yang segar di Jakarta.”
Banyu membalas dengan senyum yang manis seakan jika dapat dituliskan dengan kata, akan begini bunyinya “Bolehkah aku permisi masuk ke dalam hidupmu, Binar?”




Mereka menaiki kendaraan mereka. Dan, berkendara berdampingan seperti orang yang terlalu bingung harus bagaimana menghabiskan waktu-waktunya ke depan. Tapi, mereka tidak bingung. Mereka menikmati tiap detik yang berjalan dan tiap darah yang mengalir di dalam nadi. Semuanya terasa dalam mimpi, namun begitu nyata. 

Mereka tahu kisah mereka tidak berakhir, walau halaman ini berakhir di sini.

05 August 2016

Mencari Jalan Pulang

Aku percaya selalu ada banyak pikiran yang melintas dalam otakmu. Setiap hari dan setiap detik. Meskipun kamu hanya duduk termangu. Otakmu tidak diam seperti badanmu.

Terlalu banyak hal yang ingin kutulis. Aku menemui banyak orang yang sudah berbeda jenjang usia. Banyak hal yang membuatku takut menjadi tua. Menurutku, tua membuat pilihan di dalam hidup menjadi merosot jauh daripada ketika masih muda. 

Menjadi tua rasanya membosankan. Hal yang membosankan itu mengerikan. 

Tapi, waktu tidak akan berhenti, walau kuberkata STOP.

Lalu, aku harus apa?
Menunggu untuk menjadi tua kah?

Terkadang kamu menemukan dirimu berada di titik jauh dari mana-mana. Ya, kamu akan bertemu aku di sana yang sedang mencari jalan pulang. 

11 June 2016

Kata Hanya Rangkaian Huruf Saja

Mungkin bener kata papa gue soal tulisan gue yang kebanyakan bicara soal hal-hal yang berbau sedih, menggerutu, dan membawa hawa negatif. Dan mungkin satu ini juga akan menambah jajaran tulisan yang sedih itu.

Pernah gak berada di situasi lu melihat sesuatu yang tidak salah terjadi, tapi lu gak punya kuasa untuk mengubah sedikitpun? Kejadian itu lewat begitu aja. Hidup lu kembali berjalan dengan normal. Tapi semuanya udah terlanjut terekam dalam hati lu.

Gue merumuskan perasaan itu menjadi formula. Semuanya itu terangkum dalam dua kalimat ini.
"Maaf. Aku gak bisa bantu apa-apa."

Enam kata itu datang tiba-tiba tanpa mengetuk pintu hati gue terlebih dahulu. Yang konon gue dengar, kata punya kekuatan yang hebat untuk mengubah sesuatu. Untuk situasi tertentu, mereka gak mampu mengubah apa-apa. Mereka hanya keluar begitu saja dari dalam hati dan terdengar melalui mulut kita. Sisanya, tidak berdampak sama sekali.

Dia datang ketika gue sedang duduk manis di kursi penumpang bus berwarna oren dan memiliki halte sentral di Harmoni. Bus itu penuh dengan orang-orang pulang kerja yang mukanya sudah gak terdefinisikan lagi: butek gak jelas. Semuanya muram, tambah muram karena pencahayaan yang kurang. Hanya ada segelintir orang, bisa dihitung dengan tangan, tertawa tertahan ketika asik dengan ponsel pintar mereka. Mata gue tertuju pada kenek (gue gak tau sebutan bagus apa lagi untuk pekerjaan ini) bus yang ternyata menyimpan kelelahan sendirian.

Dia juga datang pas gue melihat seorang kakek atau nenek yang lagi menjajakan barang dagangannya. Di satu sisi, mungkin mereka melakukan ini karena bosan mengganggur di rumah. Gue gak masalah kalau alasannya itu. Tapi, kalau alasannya untuk menyambung hidup, gue jadi prihatin. Mengapa orang serenta mereka harus tetap panas-panasan di jalan? Mengapa juga mereka harus tertidur di pinggir jalan saat siang bolong karena kelelahan berdagang? Padahal ada banyak nenek dan kakek yang dapat hidup enak di rumahnya sambil baca koran dan minum teh di pagi hari dan tidur siang di tempat yang nyaman.

Dia kembali datang. Saat orang tua gue lagi mengalami kesulitan ekonomi. Sayangnya, gue bukan lagi anak kecil yang bisa menghibur orang tua gue lewat lelucon atau tindakan yang konyol dan bodoh khas anak kecil. Hal-hal yang dulu bisa bikin orang tua gue sedikit melupakan beban mereka sudah basi buat gue lakukan di umur gue yang terbilang nanggung ini. Gue pun belum menghasilkan sesuatu buat bantuin keluarga gue. Gue merasa gak berdaya. Buat suasana jadi lebih baik pun, gue gak sanggup karena sudah larut di dalam kemurungan.

Apa sih di balik enam kata itu sebenarnya?
Enam kata ini sederhana. Hanya 2 kalimat. Cuma gue melihat makna kata ini dalem banget. Dari kata ini, gue tahu bahwa gak semua hal bisa beres di tangan kita karena di sini yang ngendaliin bukan manusia. Ada pula hal-hal yang terjadi di luar kendali kita. Oleh karena itu, pasti ada sesuatu yang lebih besar yang punya kontrol atas setiap kejadian di muka bumi ini. Kalau meminjam istilah dalam filsafat, unmoved mover, yaitu penggerak yang tidak gerakkan. Sampai menginjak usia 20, gue masih percaya pengendali itu adalah Tuhan.

Perempuan Belum Ber-Diri

Aku ingin bercerita tentang seorang anak. Tak perlu lah kusebut namanya.

Aku tidah tahu harus dan bisa berbuat apa, tapi aku tidak ingin anak ini merasa sendirian. Aku tidak tahu apakah kedatanganku setiap liburan semester akan menghibur hatinya atau tidak. Aku berharap iya.

Aku rasanya ingin mendoakan agar dia menjadi anak yang cuek yang tidak perlu repot mengurusi perkataan menyakitkan yang keluar dari mulut orang lain. Aku tidak tahu harus berbuat apa-apa. Lagi-lagi hanya itu yang bsia kukatakan. Inilah hal yang tidak ku suka. Ketika melihat sesuatu yang salah, tetapi kamu hanya bisa terus berjalan di jalurmu dan tidak bisa memperbaikinya. Ingin rasanya ikut campur, tetapi otak rasionalku menahan langkahku. Aku bukan siapa-siapa.

Suatu waktu, ia bertanya "Kalau kakak jadi aku, kakak pilih tinggal sama mama atau papa?" Aku kaget dengan apa yang ia tanyakan. Aku berusaha keras memutar otak. Mencari-cari jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Yang kutemukan adalah "Kakak gak mau jawab. Coba kamu pikir mana yang bisa bikin kamu kayak di rumah." Dia terdiam. Terdiam karena tidak mengerti. Aku tidak menyalahkannya karena ia tidak mengerti. Entah kenapa muncul rasa lega juga karena dia tidak mengerti, Biar dia tidak usah menyimpulkan yang aneh-aneh dari jawabanku.

Dia masih begitu polos. Menceritakan segalanya tanpa ada rasa segan, malu, atau sungkan. Semua ceritanya mengalir seperti aku sudah menjadi bagian dalam keluarganya sehingga tidak perlu ada hal yang ditutupi. Aku banyak bertanya. Aku banyak ingin tahu. Aku juga ingin memberi tahu bahwa perhatian ini kutumpahkan melalui bertubi-tubi pertanyaan yang kulontarkan itu.

Sekali lagi kutegaskan. Dia masih begitu polos. Raut wajahnya yang begitu jujur. Aku berharap kepolosannya itu tidak dinodai oleh orang-orang yang punya motivasi hidup yang salah atau pikiran yang miring karena memilih jalan hidup yang salah. Perilakunya sekarang merupakan hasil dari apa yang dia lihat dari orang-orang yang dia sayangi. Aku tahu dia punya hati yang tulus, namun tertutupi oleh sesuatu entah apa.

Adik kecilku ini masih belum menemukan dirinya. Bahkan, belum mau mencari. Saat waktu itu tiba, aku harap aku ataupun siapapun akan pergi mengantar dia untuk membeli peta agar tidak tersesat di jalan mencari dirinya.

Aku tahu satu hal. Alur ceritaku tidak jelas. Aku pun tidak tahu apa yang kalian tangkap dari ceritaku. Kalian juga yang akhirnya punya kesimpulan dari setiap bacaan yang kalian baca kan? Aku membebaskanmu untuk punya pemikiran sendiri setelah membaca postinganku.

Sangat boleh.

08 June 2016

Catatan Seorang Prokrastinator

Hello. Happy to be back! Bagaimana kabar kalian? Bagaimana kondisi tubuh kalian setelah seminggu atau dua minggu dicekik oleh UAS? Masih waras?
Kalau aku setengah sehat. Alasanku menulis pada hari ini karena otakku mau kudinginkan dulu setelah mengalami pertempuran hebat dengan waktu. Aku pikir mengunjungi blogku yang usang ini cara yang menyenangkan untuk bersantai.

Mari kita beralih pada judul postingan ini. Terdengar familiar, ya? Aku teringat Soe Hok Gie dalam bukunya, Catatan Seorang Demonstran. Buku itu menceritakan hari demi hari yang ia lalui selama memperjuangkan kebenaran. Kalau judul postingan ini? Catatan seorang prokrastinator berisi perjuangan seorang prokrastinator selama dua minggu untuk mengakhiri semesternya dengan tenang (kata terakhir adalah dusta).

Siapa dia? Kamu tahu jawabannya. Aku tidak bermaksud memberi label pada diri, namun itu apa adanya aku. Paling tidak sampai detik tadi.

Sekarang aku terbiasa dengan jenis paragraf rata kanan-kiri, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12, dengan spasi 1,5. Lalu, urusannya apa? Tidak ada.

Sampai detik tadi, aku hanya berkata dalam hati,"Gila. Gila. Gila.", sambil menggelengkan kepalaku dan senyum tidak mengenakan. Aku heran kenapa aku begitu menikmati statusku sebagai seorang prokrastinator. Aku mencoba berpikir sejenak. Sebentar saja dan tidak buru-buru. Aku sudah lelah berpikir terlalu cepat selama proses pengerjaan makalahku. Sungguh menguras seluruh tenaga. Kalau saja, tenaga-tenaga ahli dalam otakku boleh memilih otak mana yang mereka mau jadikan tempat kerja, sepertinya akan jarang tenaga ahli yang mau menetap di kantorku. Mereka akan pergi perlahan-lahan karena tahu bagaimana besar amarahku kalau aku mendapati mereka pindah ke otak orang lain! Apalagi di saat aku sangat sedang membutuhkan mereka.

Aku menemukan satu poin. Aku senang dengan adrealin mengumpulkan tugas di detik-detik terakhir atau menit-menit selanjutnya dan saat tahu bahwa tugasku masih diterima. Rasanya aku ingin sekali menceritakannya ke seluruh pelosok kampus dan berkata, "Aku bisa mengerjakan ini hanya dalam hitungan jam!" Rasanya aku pantas mendapatkan piagram sebagai orang terhormat dan orang keren(kalimat ini mengandung hiperbola tinggi). Aku seperti sedang bermain dengan waktu. Dan tebak siapa pemenangnya?

Kamu pasti pikir aku setengah miring? Ya, aku mulai ragu dengan kewarasanku. Jadi, mari kita lanjutan supaya dapat mengambil kesimpulan bersama.

Sebenarnya menjadi prokrastinator bukanlah pilihan yang benar-benar kupilih. Ini adalah pilihan yang kuambil secara tidak sadar saat aku tahu bahwa waktu berjalan begitu cepat dan belum ada satu pun tugas yang rampung. Akhirnya, memang jadi pilihan yang paling nikmat untuk kuambil saat itu karena aku bingung harus memulai darimana (alasan macam apa ini). Aku terlalu asik dengan kebingungan itu dan lupa untuk membuat tugas-tugas itu. Hapus kata "lupa" itu dan ganti dengan "tidak".

Aku mencoba menghalalkan cara ini, seperti teman-temanku. Aku menganti layar komputerku dengan ini. Hasilnya?

Coba liat baik-baik apa yang ada di dalam layar komputerku

Gagal. Hanya bekerja selama 2 hari sampai 4 hari saja. Kurasa gambar-gambar ini harus selalu kuperbaharui setiap kali aku bosan, ya? Mungkin satu hari lima kali. Lalu, kapan aku mengerjakan tugas, dong? Hehe.

Kupikir ada hal yang selalu berhasil membuatku jadi prokrastinator. Padahal di awal semester sudah membuat sumpah palapa ala Gajah Mada bahwa tidak ingin mengulangi kebodohan yang lalu. Namun, tidak akan kupungkiri kerja otakku menjadi jauh lebih efisien jika berada di situasi genting. Aku tidak berani membuka situs-situs yang lain selain search engine untuk mencari bahan data (tentu tidak dari situs blog karena validitas data tersebut rendah). Tidak ada musik. Hanya ada hawa ketegangan dan mistis. Aku berharap segala gejala kepanikan yang kurasakan tidak mengurangi umur hidupku. Jantungku berdegup keras setiap kali aku melihat jam yang menunjukkan satu jam lagi batas waktu pengumpulan tugas. Dapat kamu bayangkan kalau setiap mengerjakan ujian take home dan tugas aku harus melewati workout jantung ini, seberapa besar otot jantungku karena sifat menundaku ini. 

Satu hal yang tidak kusukai adalah ketika aku membela diriku dengan berkata, "Namanya juga anak mahasiswa. Wajar." Saran yang sangat tidak konstruktif dan tidak solutif! Ini hanya membuat orang tipeku membuat alasan-alasan yang bertele-tele dan menyerah di ujung jalan.

Jangan seperti ini, ya?

Aku pernah belajar filsafat. Aku lupa siapa dia dan tidak perlu lah kita melulu mementingkan nama tokoh besar karena dia akan selalu dikenang dunia. Dia berkata, "Setiap detik kita adalah manusia yang baru sama seperti saat kita menginjakkan kaki ke aliran sungai. Aliran tersebut tidak pernah sama tiap detik"

Selalu ada peluang untuk berubah, bukan?

Selamat liburan! Jangan lupa membaca buku, ya! Buku dapat membuatmu sedikit pintar dan tidak begitu kaget saat masuk kuliah dan mendaati banyak bahan bacaan yang perlu dibaca.

24 January 2016

Yes Masih Sehat!

Aku tidak mau sibuk mencari judul yang menarik untuk meringkas seluruh isi kicauanku ini karena sudah banyak hal yang terlintas dalam otak ku dan berlomba-lomba untuk masuk ke dalam tulisan ini. Mereka semua bersaing untuk mendapatkan perhatianku, Tapi, pembicaraanku beberapa hari lalu yang paling kuingat.

"Kamu kayaknya banyak excuse, deh, Jes" 
Ini satu kalimat yang keluar dari mulut seorang kawan yang otaknya penuh dengan kalimat bijak (sampai saat ini aku percaya dia memang seperti itu). Aku akui kalimatnya sangat sangat benar. Aku memang menunggu seseorang untuk menegurku dan membuatku tertunduk malu sambil mengiyakan seluruh ucapannya. Kalimat itu merupakan kunci jawaban dari hampir seluruh kendala yang kuhadapi. Walaupun tahu jelas masalahnya dan mengerti cara penyelesasiannya, aku tidak mencoba memperbaikinya. Malahan, aku menyembunyikan semua solusi di belakang kepala. Hmm.. Tidak lupa menutupnya dengan berjuta alasan manis biar solusi itu terbenam sedalam-dalamnya. Semuanya dilakukan olehku secara otomatis.

Teman baikku juga mengatakan hal yang sama. Aku selalu memiliki alasan untuk menunda menulis. Dia bertanya kenapa tulisanku yang sebelumnya pendek sekali. Aku hanya berkata singkat, "Orang baca bosen kali kalau panjang-panjang." Aku suka jawaban dia yang membuatku hanya bisa diam dan terpaksa membenarkan argumennya, "Ah. Kok lu buat-buat alesan sih. Buat tulisan yang bagus dong biar orang suka tulisan panjang." Skak mat. (Pesan untuknya: Nih.. Tulisan ini akan lebih panjang dari yang kemarin.)

Juga ada sebuah film yang baru saja kemarin aku tonton. All About Steve. Film itu mengajarkan aku untuk tidak menjadi normal. Jadi anehlah, kalau itu memang kamu. Poinnya bukan pada normal atau tidak, tetapi terpaksakah kamu menjadi diri kamu itu. Aku sering mencoba menjadi asik sendiri memainkan peran-peran sosial itu dan meninggalkan wajah asliku saat aku sibuk berutinitas. Aku memakai wajah asliku hanya pada beberapa situasi dan kondisi. Ini tentu melelahkan dan berbahaya juga karena peran-peran sosial itu tidak seharusnya memiliki wilayah terlalu banyak dalam tubuhku dibandingkan wajah asliku. 

Tahun ini, aku menemukan seorang teman unik sekaligus teman diskusi berat ku. Temanku yang ini aku kategorikan sebagai orang yang mudah kegeeran. Jadi, lebih baik tidak kusebut namanya. Darinya, aku belajar untuk hidup yang biasa saja. "Lu selalu pengen hidup jadi orang lain, Jas. Bener kan?"Dia membangunkanku dari lamunan yang coba kukonstruksikan di dalam otak kalau kehidupan ini bisa selalu seseru dan se-fun di film atau seperti cerita orang besar, Kehidupan di film dan kehidupan orang besar hanya setengah realita karena aku tidah tahu apa yang sesungguhnya dilalui mereka. Boleh saja berpikir untuk memiliki hidup yang penuh dengan keseruan, tetapi jangan sampai membebani dan mengharuskan kita untuk hidup selalu dihiasi dengan ke-random-an dan kejutan. Aku baru sadar kehidupan tidak bisa kita atur selalu indah terus. 

Di hari pertama usia ke-20 ini (tiba-tiba merasa tua karena angka dua menjadi angka puluhan usiaku), aku senang Tuhan meningatkanku untuk jangan terlalu jauh berjalan dari-Nya. Melalui teman-teman dengan ucapan terdengar di kupingku menjadi begitu dahsyat. Melalui apa yang sudah kulalui dengan segala jungkir baliknya. Bahkan, segala hal sebenarnya bisa dikaitkan dengan kehidupan kita dan setiap lekukan kehidupan itu. Film, pertemuan dengan orang asing, mendengarkan radio, mendengarkan musik, membaca buku, menguping pembicaraan orang, berita berjalan yang ada di krl (hayoo gak ngerti ya? bukan anak kereta sih :P), dannn masih panjanggg amat kalau dijabarin semua. 

Aku juga senang karena selama menulis ini. Aku tidak berhenti tersenyum. Mungkin ini senyum heran karena sampai umur 20 orang aneh yang rempong dan moody ini bisa hidup dengan selamat. Tidak jadi gila atau pun masuk pergaulan bebas, seperti yang sebelumnya menjadi ketakutan semasa SMA. Tulisan ini adalah bukti kewarasanku masih pada batas wajar dan aman terkendali. 

Aku setuju dengan seseorang yang mengibaratkan hidup dengan kumpulan puzzle. Puzzle itu akan terkumpul satu per satu sampai pada hempusan nafas terakhir. Setiap manusia akan menyelesaikan sekotak puzzle  yang masih menyimpan misteri: gambar apa yang terukir dari kumpulan puzzle itu.

Satu lagi kutemukan puzzle kehidupan. Puzzle apa lagi yang menantiku di sana?

Korban karena sering berkontemplasi.
#foto yang sebenarnya tak perlu diupload 

18 January 2016

Penikmat Seni Abad 21

Gue simpulkan Biennale itu sebagai sebuah wadah untuk memamerkan kebebasan dan keliaran para seniman. Di sini, gak akan ada yang berani merendahkan hasil karya seniman. Seunik apapun. Seaneh apapun. Itu lah kehebatan seni. Seni membuat segala hal yang ada di dunia realita tabu menjadi bahan pemikiran penikmat seni, segala yang biasa dan terlewatkan menjadi pusat perhatian, segala yang dianggap kurang kerjaan akan berubah menjadi "wah kok kepikiran ya buat ini".

Memamerkan. Mungkin bahasanya kurang enak didengar.Seniman pamer? Memang kenapa? Gue pikir seni ada untuk dilihat dan dinikmati orang lain, bukan hanya si pembuat seni tersebut. Rasanya kurang lengkap kalau yang menikmati hanya mereka sendiri. 

Nah.. 

Kita tahu dong sekarang zaman apa? Zaman teknologi super canggih yang bisa diakses melalui telepon seluler. Teknologi telah mengubah cara hidup manusia, termasuk cara menikmati karya seni. 

Dengan adanya teknologi kamera dan media sosial, banyak anak muda yang melihat Biennale sebagai sasaran empuk biar terlihat kekinian. Gue yakin kalian yang datang ke Biennale pasti (gue jamin) melihat pemandangan anak-anak muda berfoto dengan hasil karya yang mereka anggap keren. Mereka foto sana-sini dengan gaya yang nge-hits di zaman ini. Gaya melihat ke arah lain. Pura-pura sedang berjalan. Pura-pura sedang menikmati karya seni. Wah... Kalau kalian lihat, aneh dan lucu-lucu. Bagaimana gue tahu? Karena gue salah satu dari mereka. HA! Gue gak bisa memungkiri kalau tema yang diusung Biennale setiap tahunnya selalu unik dan menarik buat dikunjungi. Dan difoto pastinya.

Ada satu hal yang paling bikin gue penasaran. Mari kita kembali ke pembicaraan kita mengenai cara menikmati karya seni. Gue akui acara ini berhasil mengajak anak muda untuk datang ke sebuah pameran seni. Karya seni yang dipamerkan Biennale pun berhasil menarik perhatian anak muda. Tapi apakah cara menikmati mereka ini diterima dengan manis oleh seniman-senimannya? Itu yang sempat terbesit dalam pikiran gue. Sampai sekarang.

Kalau buat gue, ini sebuah kebaikan yang muncul bersamaan dengan fenomena narsis. Ya ada lah pasti yang datang hanya sekadar ingin menambah momen-momen di media sosialnya, tetapi ada banyak juga yang mulai tertarik dan menikmati karya seni sedikit demi sedikit. Bukankah selalu ada dua sisi berlainan yang muncul dalam setiap kejadian?

Kerja bagus, Biennale. Gue tunggu pameran berikutnya!

Mereka bebas berekspresi. Gue bebas bergaya.
Bersama mereka menjelajahi Gudang Sarinah
Kutipan sederhana yang gue favoritkan

12 January 2016

Kado untuk Kamu, Aku, dan Semua

Kamu coba tebak. Aku ingin bermain tebak-tebakan. Kado ini Tuhan ciptakan... setelah manusia pertama diciptakan. Kado ini ada saat kamu kesepian, bukan sendirian (artinya jelas berbeda). Kado ini ada saat kamu membutuhkan cinta. Kado ini ada saat kamu membutuhkan sebuah tisu dan pelukan. 

Teman.

Spesial Tuhan buat langsung dari sumbernya. 

Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hawa bukan hanya pasangan, tetapi seorang teman bagi Adam. Pasangan yang baik adalah pasangan yang bisa berubah menjadi teman di kala dibutuhkan. 

Ini bukan tentang jenis kelamin temanmu. Apakah ini teman dalam artian teman mesra atau kawan baik, itu sama saja. Aku yakin Tuhan menyiapkan satu kawan atau lebih (terserah Dia) untuk setiap manusia dalam hidup mereka. Satu itu diciptakan untuk memperlengkapi manusia lain, seperti aku dan kamu.

Aku pun sama. Diciptakan untuk ada buat orang lain. 

Tuhan memang baik. 

Jangan minta lebih-lebih terus. Minta dicukupi saja.