03 March 2013

Perihal Lari Sore dan Senayan

Ya, Minggu sore lalu, tepat seminggu, aku pergi jogging. Inginnya sih pergi ke tempat lain selain di rumah untuk sekadar membaca buku dan mendengar musik dengan autisnya, tetapi memakai kata jogging sebagai topeng, biar keliatan lebih keren. Memang benar aku lari sore, 4 kali keliling Gelora Bung Karno, setelah itu baru aku duduk menikmati  kesendirian.

Untuk pengetahuan nih, haha, aku yang menjadi sopir kali ini, bukan papaku. Benar-benar dari awal perjalanan hingga sampai dengan selamat di Senayan. Dan mesin tidak mati selama aku mengendarai. WohoO!

Banyak hal yang kutemui dan kupikirkan saat sedang lari sore. Hanya lari sore. Bayangkan ya betapa Tuhan menciptaan manusia begitu unik, aku dan kamu. Hanya dengan sebuah lari sore saja, banyak ide mencuat di benak seseorang, termasuk diriku.

Setiap kali aku lari, aku selalu mengobrol. Entah kau sebut ini normal, atau aneh. Aku bicara pada diriku. Paling sering yang isinya demikian dalam bentuk kata yang beragam:
Jas, lu bisa satu puteran nih. Inget perut rata. Woii perut lu bakal rata. Ginian tuh sepele. Masa ga kuat. Ini bikin lu sehat. Lu barusan makan kan? Nah sekarang waktunya ngebakar lemak-lemak jahat itu.
Atau
Buset dah ini ibu-ibu jiwa muda banget sih ampe silau gue ngeliat dandanan nya.
Atau
Nih orang sih gaya larinya lucu parah loh, ga boong. Kurang laki amat. 
 Atau
Pokoknya gue ga boleh kalah sama bapak itu. Gue bakal lari terus sampai dia berenti lari. 
Disisi diriku satu lagi berkata: Sumpah nih bapak kuat banget. Jantung gue bisa copot kalau ikutan lari sampai ini bapak berenti lari. Ga kuat. Udah deh. Gue kalah. (dan biasanya gue beneran langsung jalan lunglai dengan tampang abis disiksa majikan)
Saat sedang  jogging, paling tidak ada satu orang, perempuan biasanya, yang memakai pakaian yang benar-benar tidak cocok untuk dipakai untuk berolahraga, sering kita sebut salah kostum/saltum. Antara terlalu norak, terlalu ketat sehingga memperlihatkan seluruh lekukan dan lipatan tubuh mereka, terlalu berlebihan, ataupun terlalu ingin berpenampilan seperti anaknya yang masih belia. Seringkali, mereka ini menjadi pusat perhatian karena memang eye-catching, tidak aku sangkali hal ini.

Ada yang karena pakaian yang dikenakan membuat dirinya eye-catching, ada pula karena gaya larinya. Gaya lari ada berbagai macam, mulai dari yang lucu sampai aneh. Mulai dari gaya lari perempuan seksi sampai gaya lari orang macho. Semuanya ada deh di sini. Ada orang berlari, pasti ada tukang minuman. Ada tukang minuman, ada juga tukang bakmi, tukang siomay, dan ibu penjual tempe mendoan yang siap melayani orang yang lelah dan berkeringat. Semuanya seperti saling terkait.

Bagiku, itu bukanlah masalah atau gangguan, tetapi menjadi keunikan saat lari sore. Aku senang  melihat mereka, laki-laki maupun perempuan, yang rajin berolahraga. Walaupun memakai pakaian dan sepatu seadanya, ada juga yang pakai sendal bahkan, mereka sadar akan pentingnya menjaga tubuh untuk tetap sehat.

Mungkin bukan saja untuk sehat, tapi juga keuntungan buat yang lagi kasmaran. Tidak sedikit loh orang yang masih muda lari bersama. Lucu deh lihatnya. Tampang mereka yang begitu menikmati sesi berolahraga, rasa dunia milik berdua dan ingin menghentikan waktu. Tawa canda riang yang terlihat dari air muka. Bukan cuma pasangan muda yang kulihat, pasangan tua juga ada. Aku lihat mereka begitu semangat dan aduhai... masih mesra. Aku ingin bisa seperti mereka saat tua nanti. Bisa jogging atau jalan sore bersama orang yang dicintai sambil mengingat masa muda up and down, juga saat cinta mereka mulai bersemi. Indahnya hidup ini. Hehe.

Akan tetapi, semua suasana nyaman dan tentram yang telah dirajut selagi berlari santai dihancurkan oleh asap kendaraan. Ah... Aku benci mereka. Mereka egois. Tidak tahukah mereka, orang di sini, untuk mencari udara bersih dan sehat? Mereka malah membuat orang-orang tidak betah. Mereka hanya ingin enaknya saja. Inginnya sejuk sedirian, tetapi mengotori udara di jalanan Gelora Bung Karno. Inginnya santai di dalam mobil dengan mendengar lagu, tetapi membuat setiap orang yang melewati kendaraannya harus menahan bau asap berbahaya itu. Bisakah kalian matikan mesin, keluar dari kendaraan kalian, dan nikmati udara segar selagi masih ada dan bisa dihirup?

Kekesalan pada mobil seketika hilang saat melihat keceriaan anak-anak kecil melihat seorang paruh baya penjual gelembung melakukan atraksi gelembung. Mereka seperti berada di dunia khayangan dan dunia mimpi. Tawa mereka meledak dan senyuman tak henti ketika gelembung menghiasi sekeliling mereka, membuat gigi-gigi yang belum banyak tumbuh dipamerkan secara otomatis. Aku juga liat anak perempuan usia dua tahun-an yang berkaus kutang dan celana dalam pink memakai sendal bapaknya (mungkin) juga asyik dengan gelembung yang bergerak-gerak terbawa angin. Mau orang tua mereka banyak uang atau banyak hutang, semua anak, tidak terkecuali,  memang suka gelembung.

Di satu sisi aku melihat banyak keluarga yang ceria, membawa sanak saudara pergi bersantai di Senayan, menikmati angin sore yang menyejukan. Makan bersama-sama yang harganya terjangkau bagi orang awam, walau makanan sederhana. Di sisi yang lain, aku melihat nenek tua, sendirian tanpa ada pembeli, berjualan ala kadarnya dipojokan pintu masuk stadium. Kadang aku melihat ketidakadilan di dunia ini. Mungkin karena aku melihat dan mengerti separuh saja, atau mungkin seperempat dunia ini saja ya?

No comments:

Post a Comment