22 March 2013

Perjalanan dan Kado Untuk Sang Musafir Hawa

Tulisan ini berbicara tentang bagaimana perjalanan panjang seorang pemudi untuk mendapatkan sebuah KTP, sebuah identitas kebangsaannya. Yang perlu digarisbawahi adalah perjalanannya yang seorang diri saja. Hanya dia, niat dan kemauan.

Awal cerita dimulai dari meminta tanda tangan ketua RT, ketua RW, membawa data ke kantor lurah, sampai akhirnya proses pemfotoan diri. Ia lakukan semua sendiri. Tidak sekali ia datang ke rumah ketua RW untuk mendapat tandatangannya. Perlu tiga kali karena ketua RW yang dicari sedang tidak berada ditempat. Dan yang paling sulit dilupakan adalah hari ini. Mari.. Kurunut kronologisnya.

Kedatangan pertama kali ke kelurahan
Pakai celana pendek kotak-kotak. Langkah mantap dan semangat. Jalan kaki menuju kantor lurah. Matahari belum di tengah kota. Dari jauh melihat papan nama gedung. Masuk ke halaman gedung dengan agak merasa diri sang musafir keren. Namun, setelah masuk kantor, raut wajah berubah menjadi agak bodoh dan polos. Bertanya kepada seseorang di dekatnya perihal dimana ruangan membuat KTP. Kaget serta tak dapat berkata-kata, saat musafir ini tahu bahwa tidak boleh masuk ruangan dengan tanpa memakai celana panjang. Pulang ke rumah dengan keringat mengucur cukup deras, padahal baru saja mandi.

Kedatangan kedua kali ke kantor lurah
Mengenakan jeans panjang. Langkah mulai goyah. Menempuh rute dan kendaraan yang sama (berjalan kaki maksudnya) ke kantor lurah. Matahari mulai mengeluarkan sengatnya. Berhasil masuk ruangan dengan selamat. Menunggu. Berbicara dengan ibu-ibu, tidak tahu dia staf atau orang biasa. Sang musafir hawa duga, dia bekerja di sana. Kembali dikejutkan dengan apa yang dikatakan ibu tadi, perlu bawa akte lahir atau ijazah SMP. Sedangkan musafir ini hanya tahu perlu bawa surat dari ketua RT-RW dan Kartu Keluarga. Terpaksa pulang. Pulang lagi dengan kucuran (sekarang) deras keringat dan dengan kesia-siaan yang dibawanya. Bertemu dengan kakak sang musafir yang bingung. Musafir bercerita singkat. Segera pergi meninggalkan kakaknya dengan wajah masih bingung. Naik ke kamar orangtua sang musafir. Mengobrak-abrik kamar dengan tergesa-gesa, tanpa merapikannya. Makan po*ky, sambil mengademkan diri di depan kipas angin. Siap berpetualang lagi.

Kedatangan ketiga kali ke kantor lurah
Wajah sudah tebal melihat ekspresi orang-orang bingung melihatnya bolak-balik melewati gang. Berjalan dengan lelah, tidak lupa juga keringat. Tidak ingat, entah matahari langsung membakar kulitnya atau awan menyelamatkan kulitnya yang sudah gelap. Memasuki kantor lurah. Langsung duduk tanpa izin. Bertanya dengan berani apa yang sedang ia tunggu. Tidak kaget ketika tahu ia harus menunggu. Saat itu pukul 09.58. Orang yang mengurus KTP sedang rapat dan akan kembali pukul 11 siang. Musafir memilih untuk menunggu. Memasang earphone di telinganya. Mengambil buku 'Sup Gibran' dari dalam tas. Membuat diri senyaman mungkin. 10 menit berlalu. 20 menit. 30 menit. 35 menit. Ia mulai sulit membuka mata. Pandangannya kabur karena dilanda kantuk. Pukul 10.35. Seseorang bicara padanya, rapat akan selesai pukul 3. Ia juga duga begitu. Pulang dengan sia-sia dan dengan membawa nomer telepon kantor lurah dan dengan earphone yang masih menempel di telinga. Jalannya sudah tidak lurus. Kakinya berat karena mengantuk.

Kedatangan keempat kali ke kantor lurah
Menelpon kantor lurah pukul 2 kurang. Dari telepon tahu bahwa pertugas sudah bisa diajak bekerja sama. Mengenakan pakaian yang sama. Pergi dengan langkah semantap pertama kali. Berjalan dengan earphone yang setia menemani. Kali ini tanpa bawa buku dan tas. Malas dengan pernak-pernik tidak penting. Ke sana, ya untuk KTP saja. Yakin kali ini adalah kedatangan yang terakhir kalinya. Matahari sudah lelah menyinari bumi. Energinya sudah tidak sekuat tadi. Ramai di ruang mengurus KTP. Bertemu ibu itu lagi. Tebakan sang musafir hawa benar soal kedatangan kali ini. Sang musafir hawa langsung ditanyai petugas. Difoto. Juga ditanyai petugas apa tidak puas dengan fotonya dan ingin mengulang. Sang musafir dengan mantap berkata tidak. Ingin cepat selesai. Disuruh meletakkan jempolnya ke alat sensor sidik jari, lalu menekan jempolnya. Musafir hawa mengakhiri dengan bertanya kapan ia dapat KTP-nya. Akhirnya yang ditunggu-tunggu. Selesai juga. Pulang dengan hati senang. (Yang ini tambahan saja. Pergi ke Indo***et. Menghadiahkan dirinya sendiri sebungkus keripik dan permen kenyal, setelah menempuh perjalanan yang panjang. Tanpa pikir gendut dan batuk.)

E-M-P-A-T kali. Sang musafir empat kali ke kantor lurah (bolak-balik) dalam satu hari. Panjang bukan harinya? Ya. Memang benar panjang dan melelahkan. Namun, sang musafir malah berpikir lain. Ia pikir perjalanan ini seperti kado ulang tahun ke-17 dari keluarahan tersebut. Menyadarkannya dan membuatnya melihat diri sudah dewasa. Sudah seharusnya bisa menyelesaikan masalah sendiri dan mandiri. Itu kado yang ia dapat dari perjalanannya hari ini. Usia 17 tahun dan KTP adalah tanda bahwa ia perlu bersiap-siap menghadapi dunia dan realita yang jauh berbeda dengan dunianya dan lingkungan sekolahnya.

Perjalanannya masih belum selesai karena kedatangan keempat kalinya bukanlah kedatangan yang terakhir. Senin depan, sang musafir hawa akan pergi sekali lagi ke kantor lurah dan akan benar-benar resmi memiliki kebangsaan dan tercatat dalam buku arsip kependudukan bahwa ia ada di bumi Indonesia, berlokasi di Jakarta, kota yang selalu melek, Ibukota Tanah Airnya. Dan pula bukti bahwa pemudi ini asli made in Indonesia.

Setelah tahu betapa panjang perjalanan yang telah dilalui, ia bangga.

Saya bangga.

5 comments:

  1. sebuah cerminan birokrasi di Indonesia...

    ReplyDelete
  2. makna tersirat tulisan gue tanpa disadari. hehe

    ReplyDelete
  3. awesome & meaningful!!! mantep deh!

    ReplyDelete
  4. thanks cis :))))))
    awalnya sih pengen lebih santai, tp ada ide muncul..

    ReplyDelete