13 October 2012

Hidup di Jakarta

Hidup di Jakarta resiko jadi gila. Jadi stress stadium 4.

Jakarta oh.. Jakarta
"Apa sih yang bener di sini?" pikir seorang anak SMA swasta di rumahnya bilangan Jakarta Pusat, tepatnya di kamar orang tuanya dan sedang sendirian.

MRT? udah mau dibangun, tapi mentok gara-gara kurang dana tuh katanya.
Macet adalah isu biasa. Kalau jalan di Jakarta lancar itu pasti menandakan bahwa hari itu adalah hari lebaran, atau lagi ada demo besar-besaran di istana negara.

Kotanya ga bener, yang tinggal juga sama.

Supir kopaja kupingnya udah kesumpel sama polusi. Mereka jadi budek dan kebal sama bunyi klakson yang nan nyaring bunyinya. Bus itu dengan santai menutupi jalur utama di jalan sempit macem jalan di pasar baru. Coba ke sana jam 6 dan rasakan nikmatnya paduan suara yang sahut menyahut tiada henti. Ingin naik bus atau naik bajaj atau nyari angkot? Yang perlu dilakukan ada;ah berdiri di pinggir jalan terus ngacung-ngacung tangan, pasti ada kendaraan umum yang menghampiri. Bahkan sekarang ga perlu ngacungin tangan dan tinggal berdiri doang, mereka akan berinisiatif dengan sendirinya menawarkan jasa antar dalam sekejap. Keren kan Kota Jakarta?

Halte bukan tempat buat orang menunggu bus, malah dibuat kamar bagi tuna wisma atau jadi tempat strategis buat pedagang bakmi. Mampir deh di dekat rumahku, ada bakmi enak (murah juga) dan lokasinya persis di halte itu. Halte digunakan sebagai tempat duduk bagi penikmat bakmi itu.

Ceritaku belum selesai. Aku sebagai konsumen mobil pendek ingin complain. Mentang-mentang mobil sekarang tinggi-tinggi jangan dong mengganti lampunya jadi lampu yang aneh-aneh, yang putih lah atau terangnya hampir menyamai matahari. Lampu mobil sekarang tuh kaya lampu sorot yang ada di konser-konser penyanyi taraf internasional. Kalau sedang berada di depan atau di belakang mobil lampu sorot itu, hiperbolanya kaya adegan Saulus yang dibutakan. Silaunya minta ampun. Jadi tolong hargai sedikit kami, para pengguna mobil sedan.

Lalu soal kendaraan umum yang terkenal dengan bus berwarna merah oranye atau abu-abu itu, tidak perlu kusebutkan namanya. Aku kaget ternyata bus itu bisa menurunkan di jalan, dan bukan di halte. Kata orang itu sih gara-gara dia sudah terlambat dan tempat kerjanya persis di sebelah kanan bus. Aku hanya geleng-geleng dalam hati. Aku lihat muka co-driver (aduh tidak tahu apa sebutan untuk orang yang menjaga pintu di bus) yang pasrah. Aku tidak menyalahkan sepenuhnya pada tindakan dari co-driver dan driver nya yang memutuskan untuk membuka pintu itu. Orang itu juga salah. Dia memaksakan kemauannya di atas kebijakan yang rapuh. Hancurlah kebijakan itu jika ditindas.

Mau nyicipin neraka skala kecil ga? Jam 6 sore ke halte bus merah oranye di harmoni. Padetnya sudah tidak bisa disampaikan lagi dengan kata-kata. Kesesakan tidak sampai di situ, di dalam bus juga padat seperti lagi di dalam kaleng sarden. Bau di dalam bus sedap banget. Bayangkan semua keringat, bau badan dan bau parfum tak jelas bercampur jadi satu. Ah.. Tidak mau aku membayangkannya.

"Mau buat SIM ya?" bukan itu pertanyaannya. Pertanyaannya itu adalah "punya duit berapa buat bikin SIM?". Jangan tersinggung loh, tapi memang banyak dari pembuatan SIM begitu kan? Ada paketnya lagi kayak di restoran cepat saji yang menawarkan buy one get two atau menu hemat kali ya namanya.

Gini ini manis pait tinggal di Jakarta. Mau tidak mau ya harus mau terima hehe :)
Kapan-kapan kalau aku punya cerita menarik lainnya, tidak akan kusimpan sendiri. Pasti kubagikan buat kalian juga kok.

1 comment:

  1. Kamu kok lucu-menarik-sederhana-pinter-cantik sih? Aku suka... Jarang ketemu cewe kayak kamu

    ReplyDelete