Gue langsung aja ya ke ceritanya. Sebenernya jadwal gue hari ini itu bukan pergi ke Monas, harusnya gue bakal menganggur di rumah, bermalas-malas di kasur sambil nonton film, menimbun lemak di rumah. Tapi, bokap malah (sengaja) ngajak pergi karna di Monas lagi ada pawai keraton apa gitu. Gue diem aja tanpa memberikan perlawanan atas ajakan itu.
Akhirnya capcus nyampe sana, kedatangan gue disambut dengan kubu-kupu biru sangat menawan terkapar di jalanan. Baru pertama kali gue nemuin kupu-kupu beneran dan megang secara langsung. Sebenernya gue takut debu-debu dari sayapnya bakal mematikan gue, tapi alhasil gue bawa pulang juga itu kupu-kupu tak bernyawa. (ini beneran paragraf curhat 100%)
Setelah mendatangi poster berisi susunan acara, gue melihat bahwa gue sama bokap gue salah hari. Harusnya tuh besok baru ada carnavalnya. Mau apa dikata, gue sudah dateng ke sana, sayang juga kalo langsung pulang. Gue berkeliling sebentar di halaman Monas.
Gue baru menyadari kalo udah cukup lama gue ga ke monas untuk sekadar mengucapkan selamat pagi pada langit dan matahari (asik). Ada banyak tanah yang digembur di sana-sini, gue ga tau istilahnya pokoknya tanahnya dipermak gitu deh. Gue melihat banyak perubahan yang udah Pak Jokowi-Ahok lakukan buat bikin Jakarta lebih enak dijadiin tempat tinggal. Contohnya acara-acara kaya gini, yang ga cuman bisa dinikmatin kalangan atas atau bawah, tapi semuanya bisa ngumpul jadi satu di sini.
Kaya ada hawa hero berlabuh dan menetap di Jakarta.
Terus gue mikir. Nelson Mandela baru saja dipanggil Tuhan. Dunia kehilangan satu pahlawan. Tapi, bukan berarti ga ada lagi pahlawan yang lahir dan mempertunjukkan aksinya. Sukarno, pahlawan kebebasan Indonesia, memang sudah meninggal puluhan tahun lalu. Tapi, itu bukan akhir dari segalanya. Sekarang kita punya kok sosok pahlawan yang nyata. Pahlawan itu lahir dan berada di tengah-tengah kita, orang Jakarta.
No comments:
Post a Comment