Aku tidak mau sibuk mencari judul yang menarik untuk meringkas seluruh isi kicauanku ini karena sudah banyak hal yang terlintas dalam otak ku dan berlomba-lomba untuk masuk ke dalam tulisan ini. Mereka semua bersaing untuk mendapatkan perhatianku, Tapi, pembicaraanku beberapa hari lalu yang paling kuingat.
"Kamu kayaknya banyak excuse, deh, Jes"
Ini satu kalimat yang keluar dari mulut seorang kawan yang otaknya penuh dengan kalimat bijak (sampai saat ini aku percaya dia memang seperti itu). Aku akui kalimatnya sangat sangat benar. Aku memang menunggu seseorang untuk menegurku dan membuatku tertunduk malu sambil mengiyakan seluruh ucapannya. Kalimat itu merupakan kunci jawaban dari hampir seluruh kendala yang kuhadapi. Walaupun tahu jelas masalahnya dan mengerti cara penyelesasiannya, aku tidak mencoba memperbaikinya. Malahan, aku menyembunyikan semua solusi di belakang kepala. Hmm.. Tidak lupa menutupnya dengan berjuta alasan manis biar solusi itu terbenam sedalam-dalamnya. Semuanya dilakukan olehku secara otomatis.
Teman baikku juga mengatakan hal yang sama. Aku selalu memiliki alasan untuk menunda menulis. Dia bertanya kenapa tulisanku yang sebelumnya pendek sekali. Aku hanya berkata singkat, "Orang baca bosen kali kalau panjang-panjang." Aku suka jawaban dia yang membuatku hanya bisa diam dan terpaksa membenarkan argumennya, "Ah. Kok lu buat-buat alesan sih. Buat tulisan yang bagus dong biar orang suka tulisan panjang." Skak mat. (Pesan untuknya: Nih.. Tulisan ini akan lebih panjang dari yang kemarin.)
Juga ada sebuah film yang baru saja kemarin aku tonton. All About Steve. Film itu mengajarkan aku untuk tidak menjadi normal. Jadi anehlah, kalau itu memang kamu. Poinnya bukan pada normal atau tidak, tetapi terpaksakah kamu menjadi diri kamu itu. Aku sering mencoba menjadi asik sendiri memainkan peran-peran sosial itu dan meninggalkan wajah asliku saat aku sibuk berutinitas. Aku memakai wajah asliku hanya pada beberapa situasi dan kondisi. Ini tentu melelahkan dan berbahaya juga karena peran-peran sosial itu tidak seharusnya memiliki wilayah terlalu banyak dalam tubuhku dibandingkan wajah asliku.
Tahun ini, aku menemukan seorang teman unik sekaligus teman diskusi berat ku. Temanku yang ini aku kategorikan sebagai orang yang mudah kegeeran. Jadi, lebih baik tidak kusebut namanya. Darinya, aku belajar untuk hidup yang biasa saja. "Lu selalu pengen hidup jadi orang lain, Jas. Bener kan?"Dia membangunkanku dari lamunan yang coba kukonstruksikan di dalam otak kalau kehidupan ini bisa selalu seseru dan se-fun di film atau seperti cerita orang besar, Kehidupan di film dan kehidupan orang besar hanya setengah realita karena aku tidah tahu apa yang sesungguhnya dilalui mereka. Boleh saja berpikir untuk memiliki hidup yang penuh dengan keseruan, tetapi jangan sampai membebani dan mengharuskan kita untuk hidup selalu dihiasi dengan ke-random-an dan kejutan. Aku baru sadar kehidupan tidak bisa kita atur selalu indah terus.
Di hari pertama usia ke-20 ini (tiba-tiba merasa tua karena angka dua menjadi angka puluhan usiaku), aku senang Tuhan meningatkanku untuk jangan terlalu jauh berjalan dari-Nya. Melalui teman-teman dengan ucapan terdengar di kupingku menjadi begitu dahsyat. Melalui apa yang sudah kulalui dengan segala jungkir baliknya. Bahkan, segala hal sebenarnya bisa dikaitkan dengan kehidupan kita dan setiap lekukan kehidupan itu. Film, pertemuan dengan orang asing, mendengarkan radio, mendengarkan musik, membaca buku, menguping pembicaraan orang, berita berjalan yang ada di krl (hayoo gak ngerti ya? bukan anak kereta sih :P), dannn masih panjanggg amat kalau dijabarin semua.
Aku juga senang karena selama menulis ini. Aku tidak berhenti tersenyum. Mungkin ini senyum heran karena sampai umur 20 orang aneh yang rempong dan moody ini bisa hidup dengan selamat. Tidak jadi gila atau pun masuk pergaulan bebas, seperti yang sebelumnya menjadi ketakutan semasa SMA. Tulisan ini adalah bukti kewarasanku masih pada batas wajar dan aman terkendali.
Aku setuju dengan seseorang yang mengibaratkan hidup dengan kumpulan puzzle. Puzzle itu akan terkumpul satu per satu sampai pada hempusan nafas terakhir. Setiap manusia akan menyelesaikan sekotak puzzle yang masih menyimpan misteri: gambar apa yang terukir dari kumpulan puzzle itu.
Satu lagi kutemukan puzzle kehidupan. Puzzle apa lagi yang menantiku di sana?
Korban karena sering berkontemplasi. #foto yang sebenarnya tak perlu diupload |