Natal
Natal
Natal
Kata-kata itu selalu mengganggu pikiranku selama pelajaran hari ini. Hari ini adalah hari terakhirku masuk sekolah. Wajah sumringah teman-temanku jelas terlihat dari ekspresi tidak sabar mengakhiri hari-hari melelahkan mereka. Detik demi detik terasa seperti membunuh kesabaranku.
Teddy Bear yang selama ini kuinginkan
Saudara sepupuku yang lucu-lucu
Dan Santa Claus
Aku tidak sabar mendapatkan hadiah natal langsung dari tangan kakek jubah merah yang selalu memperlihatkan senyuman hangat. Aku tidak sabar memeluk nenek dan bermain dengan Pluto, anjing yang setia menemani nenek di Swiss. Tak sabar kumenghirup udara di Swiss yang dingin, tetapi selalu membuat nyaman. Pikiranku sudah berkelana jauh dari pelajaran sejarah.
Kriing...
Bel berbunyi membangunkanku dari lamunan menggiurkan. Kami girang. Guruku juga tak bisa lagi menahan luapan emosi setelah lama mengajar anak-anak yang bawel dan menyebalkan. Tak satupun membenci libur natal. Aku memperlihatkan senyumku dan gigiku selebar-lebarnya. Tetapi ada ruang hampa yang tersembunyi di sudut hatiku yang juga tersembunyi. Di dalamnya ada aku yang kesepian dan ketakutan dalam kegelapan yang pekat dan legam. Ada apa ini?
Semua terjawab saat aku mendengarkan pendeta berkotbah di gereja Swiss, tepat tanggal duapuluh lima Desember:
"Natal bukan soal menghias pohon natal. Atau hadiah natal yang kalian dapatkan. Atau santa claus. Atau kaus kaki besar yang kalian taruh di atas perapian. Natal adalah peristiwa penting dimana Tuhan berkorban demi kamu! Kamu, manusia berdosa yang tidak sepantasnya mendapatkan penebusan. Namun, Tuhan yang penuh kasih tetap rela mati serta harga dirinya diinjak-injak untuk kau hidup sekarang ini. Bangun! Bangun! Bangun!! Kapan kau sadar dan bangun dari tidurmu, Nak?"
Aku salah selama ini. Keliru. Bodoh benar aku. Setan telah berhasil mengelabuiku dengan tipu muslihatnya. Dengan gemerlap natal dan kesibukan mempersiapkan acara-acara natal, aku kira dapat membuat diriku bahagia sepenuhnya. Kubayangkan sekarang, mereka sedang menertawai kebodohanku di Neraka sana. Berpesta mewah-mewah merayakan 'anak Tuhan berhasil jatuh ke dalam perangkap tikus'.
Mataku terbuka lebar. Aku sadar aku terbiasa dijejali hadiah-hadiah tak penting yang berlimpah setiap natal. Hanya hadiah baru. Bukan diriku yang baru. Aku selalu sama tiap tahun. Badanku bertambah tinggi, semakin terlihat dewasa. Sedangkan, imanku tidak bertambah dewasa. Aku melupakan hal paling penting di akhir tahun, yaitu Tuhan masih menginjinkanku menikmati ciptaannya dan hidup yang Ia berikan ini. Menikmati segala kenikmatan dunia di atas penderitaan amat menyakitkan serta penuh darah cacian dan maki. Tak tahu diri benar aku ini bukan?
Akhirnya, aku bercerita tentang kegundahan hatiku pada Nenek. Aku berdoa bersama Nenek. Nenek memegang tanganku sambil tersenyum. Senyumnya damai sekali. Aku tidak pernah melihat Nenek tersenyum semanis dan selepas ini. Seperti Tuhanlah yang sedang menemaniku berdoa dan menggenggam tanganku. Aku kembali menutup mata dan senyum tak lepas dari wajahku.
Natal kali ini adalah Natal yang tidak biasa. Hadiah Natal luar biasa yang Tuhan berikan padaku. Ruang hampa itu sudah tidak lagi kosong. Para malaikat telah diutus Tuhan untuk meramaikan hatiku dan bersenandung merdu di dalamnya. Ruang hampa itu sudah tidak lagi gelap. Tuhan menerangkannya dengan sinar kekekalan yang putih bersih tapi tidak menyilaukan. Sekarang aku tidak pernah merasa sepi lagi. Karena Tuhan telah hidup di dalamku, Ia mengusir kesepian dan kebimbangan imanku jauh-jauh.
Aku yakin sekarang setan sedang meringis dan berteriak gila di atas sana. Mereka pasti juga berpikir keras untuk menjerumuskanku untuk kedua kalinya. Jadi, aku harus terus waspada dan dekat dengan Tuhan.
Kebahagiaan Natal terus bersamaku walau libur telah usai. Senyum nenek selalu terekam dalam memoriku. Tidak akan pernah kulupakan.