"Akhirnya, gue menulis lagi setelah rehab berbulan-bulan. Mungkin 6 bulan lebih." Kata pembuka yang selalu muncul di tiap tulisan gue saat kembali pulang ke dunia per-blog-an setelah sekian lama menghilang. Asik dengan dunia lamunan saja tanpa mau membagikan isi pemikiran kepada pembaca.
Tapi, beneran nih. Gak terasa. Gak terasa pula kalender sudah hampir habis. Hari Natal bisa dihitung dengan jari. Hiasan Natal gak hanya menghiasi bangunan gereja, tapi juga setiap mal yang ada di kota Jakarta. Poster berisikan harga miring brand luar negri bertebaran di setiap pusat perbelanjaan.
YUP. Secepat itu waktu kalau kita gak jeli memperhatikan.
Bisa dibilang gue tidak sedang dalam kondisi yang senang karena saat ini masih harus UAS dan gak berasa natal sama sekali. Kalau waktu SMA gue bisa merasakan hawa sukacita menanti-nantikan liburan Natal, di sini gue merasakan hawa-hawa mencekam yang berasal dari mahasiswa/i yang takut menghadapi UAS. Oiya, kalau dianalisis dari kalimat gue sebelumnya, kalian akan tahu bahwa gue udah gak menginjak bangku sekolahan lagi.
Itulah penyebab utama kenapa badan gue masih belum terbiasa dengan rutinitas gue saat ini. Yang biasanya, dulu waktunya libu dan bisa nonton film kartun spesial liburan setiap pagi (kalau bangun). Tapi, sekarang masih sibuk ngerjain take home test dan mencoba "berteman baik" dengan buku paket selama UAS ini.
Udah dulu ya... Jesinya mau ngerjain tugas dulu. Semoga kalian menikmati liburan natal kalian satu hari demi satu hari!
Di sini tempatku merebahkan raga dan membangunkan jiwa. Kalau ada senggang, mari minum teh dan makan kudapan sore bersama.
16 December 2014
30 September 2014
Rumah dan Anjing Kesepian
Dulu tidak begini. Dulu rumah selalu ramai. Banyak orang lalu-lalang. Ada emak, papa, mama, adik mama, cici, koko, aku, dan anjing peliharaan. Ada 18 kaki yang melangkah di rumah tanpa henti. Rumah kami tidak pernah berhenti menahan beban kaki-kaki kami. Rumah tidak pernah lelah untuk menjadi tumpuan bagi kami. Kalau bisa tersenyum, rumah akan meluangkan waktu untuk tersenyum walau sudah babak belur seharian.
Sekarang berbeda. Hanya ada empat kaki yang melangkahi lantai rumahku.
Rumah begitu lenggang. Rumah terasa sepuluh kali lebih luas. Rumah terasa seratus kali lipat lebih dingin. Tidak ada kehangatan. Rumah sudah tidak memiliki kekuatan seperti dahulu karena tidak pernah dilatih menahan beban.
Rumah begitu sunyi. Hanya suara mesin air dan anjingku yang menemani rumah setiap hari. Tidak lagi ada suara bising yang aku rindukan sejak lama, yang dulu sungguh ingin aku hilangkan dari peradaban dunia. Aku rindu mendengar kebisingan di rumah. Aku rindu mendengar gelak tawa seluruh anggota keluarga di rumah.
Sekarang. Aku pergi ke kampus sampai larut. Orang tuaku pergi bekerja sampai senja. Terkadang papaku berada di rumah dan menghabiskan waktu di lantai kedua tanpa menghiraukan. Ciciku berada di luar kota dan menetap sementara di sana. Kokoku belajar di luar kota. Adik mama telah menikah dan hidup dengan suaminya. Emakku menemani sepupu tinggal di luar kota.
Kami sibuk dengan kehidupan kota yang kami miliki.
Tidak ada yang menyadari bahwa rumahku kesepian.
Tapi tak disangka, anjingku sama kesepiannya dengan rumahku. Tidak ada yang mengajak bermain. Kerjanya hanya makan, tidur dan menunggu kedatanganku agar bisa diajak bermain. Namun, usahanya selalu gagal. Aku selalu terlelap sebelum mau dan niat untuk berlari-larian dengannya.
Kasihan mereka. Kasihan mereka yang ditinggalkan kami. Mereka berjalan dengan waktu. Namun, kami dikejar oleh waktu. Itulah yang membedakan kami.
Sekarang berbeda. Hanya ada empat kaki yang melangkahi lantai rumahku.
Rumah begitu lenggang. Rumah terasa sepuluh kali lebih luas. Rumah terasa seratus kali lipat lebih dingin. Tidak ada kehangatan. Rumah sudah tidak memiliki kekuatan seperti dahulu karena tidak pernah dilatih menahan beban.
Rumah begitu sunyi. Hanya suara mesin air dan anjingku yang menemani rumah setiap hari. Tidak lagi ada suara bising yang aku rindukan sejak lama, yang dulu sungguh ingin aku hilangkan dari peradaban dunia. Aku rindu mendengar kebisingan di rumah. Aku rindu mendengar gelak tawa seluruh anggota keluarga di rumah.
Sekarang. Aku pergi ke kampus sampai larut. Orang tuaku pergi bekerja sampai senja. Terkadang papaku berada di rumah dan menghabiskan waktu di lantai kedua tanpa menghiraukan. Ciciku berada di luar kota dan menetap sementara di sana. Kokoku belajar di luar kota. Adik mama telah menikah dan hidup dengan suaminya. Emakku menemani sepupu tinggal di luar kota.
Kami sibuk dengan kehidupan kota yang kami miliki.
Tidak ada yang menyadari bahwa rumahku kesepian.
Tapi tak disangka, anjingku sama kesepiannya dengan rumahku. Tidak ada yang mengajak bermain. Kerjanya hanya makan, tidur dan menunggu kedatanganku agar bisa diajak bermain. Namun, usahanya selalu gagal. Aku selalu terlelap sebelum mau dan niat untuk berlari-larian dengannya.
Kasihan mereka. Kasihan mereka yang ditinggalkan kami. Mereka berjalan dengan waktu. Namun, kami dikejar oleh waktu. Itulah yang membedakan kami.
27 June 2014
Ciyee Temen Baru Niyeee
Jadi, ceritanya tulisan ini adalah sebuah balasan dari tulisan teman baru gue. Well, gue ga yakin tulisan balesan gue bakal lebih lucu atau lebih bagus daripada punya elu, Res. Cuman satu hal yang mau gue kasih tahu bahwa ini semua beneran dari dalem hati gue #ea. Semoga elu ngerasain apa yang gue rasain waktu liat apa yang udah lu tulis tentang gue. Ini telat banget sih hahaha. Jadi dimaklumin aja ya kalau ga detil.
Res, pertama kali gue omong sama elu itu waktu lu minta nomer henpon gue. Hehe first impression gue ke elu adalah EEENGGGG, rada awkward, dan berasa awkward, dan awkward. Soalnya gue ga pernah dimintain nomer henpon sebelumnya di acara kaya gini. Pertama kali juga sih ikut acara training gitu.
Eitss mungkin lu pada yang baca, selain temen baru gue ini, ga ngerti konteks pembicaraan gue, makanya gue jelasin dulu deh. Jadi, gue selama 3 hari mengikuti rentetan acara dari Journalist Days yang diadain sama suatu badan organisasi UI yang bergerak dibidang jurnalistik bernama BO Economica.
Nah.. Gue pertama kali berinteraksi sama cewe berkulit sawo matang ini waktu dia minta nomer henpon gue. Gue kira itu bakal jadi pembicaraan gue yang pertama dan terakhir sama dia. Eh ternyata enggak loh. Sebelum balik ke Jakarta, gue membuang seluruh kandungan air yang ada di dalam tubuh supaya enggak ribet di perjalanan pulang. Ehh tau-tau kami ketemu di toilet, ya terus basa-basi dikit. Nah berterimakasih sama si bulan yang datang bersamaan menghampiri kami. Karena bulan itu lah, gue sama Nares bisa kenal lebih dekat. Lucu juga ya bisa deket gara-gara bulan datang? Kayanya tabu untuk dibicarakan lebih lanjut. Biar kami yang saja tahu itu. #asik
Waktu mau pulang, hujan belom berhenti dan masih deras saja menyembur kami dengan airnya. Nares bawa payung super-mini. Gue bilang sama dia "Ini payung pelit banget ya. Ga bisa buat berdua." Dia jawab "Oh emang sengaja beli yang kecil, Jass." Gue tertawa renyah. Kalo aja Nares itu cowo, momen itu cucok banget itu buat dijadiin scene romantis di ftv Indonesia yang sering tayang malem buat anak-anak ababil. Hehehe
Gue pisah kereta sama dia di stasiun Tanahabang. Dan pertemuan kami berakhir di situ.
Ehh gak ding. Gue ketemu dia lagi di hari ke-3. Hari itu adalah rentetan terakhir acara Journalist Days. Dan gue ngantuk parah karena semua acara (cuman dua sih) diisi sama seminar. Brooo. Sumpah gue pingin banget pulang waktu itu. Kepala gue udah goyang kiri goyang kanan gak berenti. Gue di sini sibuk mengusir ngantuk. Dan dia. Dia yang duduk di sebelah gue kayanya ngerti banget sama pembahasannya. Keliatan dari tampang lu, Res. Haha kaya gamau kehilangan momen banget gitu. Serius bener ngedengerin seminar sambil megang henpon, sepertinya lagi mencatat notes kecil tentang seminar. Kayanya gue satu-satunya orang ngantuk di tempat itu.
Akhirnya waktu tepok tangan tanda seminar kelar. Waktu yang gue tunggu-tunggu daritadi. Karena belom sore-sore banget, Nares ngajakin gue liat kampusnya. Sebenernya gue sih yang minta. Terus liat-liat lapangan UI yang guede tapi ga pake payung romantis lagi, soalnya matahari lagi terang benderang. Selama perjalanan, gue banyak mendominasi pembicaraan. Ngoceeeeeeeeeeeeehhh mulu. Nanyaaaaaaaaaaaaaa mulu. Ngooomeeell ini itu mulu.
Dan dia hanya diam. Diam. DIAM. Gue baru perhatiin. Waktu gue ngomel "eh ini panas banget ya udara" "buset gerah gue" "duh lengket" "bis nya ga dateng-dateng dah" "lama bener ye, Res". Dia diem aja enggak nanggepin gue. Akhirnya gue baru sadar bahwa daritadi gue menyebarkan hawa negatif ke dia. Dan dia gak mau ikutan nambahin hawa negatif itu, makanya diem aja. Gue lupa dia bilang soal itu atau cuman gue yang simpulkan sendiri. Maklum otak gue cuman nampung momen selama seminggu doang. Hehe. Nah itu hal yang gue kagum #cieilah dari dia. Dia gak mau ngerusak mood dia dan tentu gak mau memperburuk suasana. So, die ga omong apapun. Gue pikir itu filosofi hidup yang patut dicontoh.
Gue ga nyangka pertemuan yang bentar banget bakal jadi seseru ini. Mungkin, gak akan seru kalo yang gue temui itu bukan Nurul Nareswari si cewek yang ternyata demen selfie juga :)
Kalau penasaran sama tulisan Nares, ataupun tulisannya Nares soal gue. Klik ini ya.
Res, pertama kali gue omong sama elu itu waktu lu minta nomer henpon gue. Hehe first impression gue ke elu adalah EEENGGGG, rada awkward, dan berasa awkward, dan awkward. Soalnya gue ga pernah dimintain nomer henpon sebelumnya di acara kaya gini. Pertama kali juga sih ikut acara training gitu.
Eitss mungkin lu pada yang baca, selain temen baru gue ini, ga ngerti konteks pembicaraan gue, makanya gue jelasin dulu deh. Jadi, gue selama 3 hari mengikuti rentetan acara dari Journalist Days yang diadain sama suatu badan organisasi UI yang bergerak dibidang jurnalistik bernama BO Economica.
Nah.. Gue pertama kali berinteraksi sama cewe berkulit sawo matang ini waktu dia minta nomer henpon gue. Gue kira itu bakal jadi pembicaraan gue yang pertama dan terakhir sama dia. Eh ternyata enggak loh. Sebelum balik ke Jakarta, gue membuang seluruh kandungan air yang ada di dalam tubuh supaya enggak ribet di perjalanan pulang. Ehh tau-tau kami ketemu di toilet, ya terus basa-basi dikit. Nah berterimakasih sama si bulan yang datang bersamaan menghampiri kami. Karena bulan itu lah, gue sama Nares bisa kenal lebih dekat. Lucu juga ya bisa deket gara-gara bulan datang? Kayanya tabu untuk dibicarakan lebih lanjut. Biar kami yang saja tahu itu. #asik
Waktu mau pulang, hujan belom berhenti dan masih deras saja menyembur kami dengan airnya. Nares bawa payung super-mini. Gue bilang sama dia "Ini payung pelit banget ya. Ga bisa buat berdua." Dia jawab "Oh emang sengaja beli yang kecil, Jass." Gue tertawa renyah. Kalo aja Nares itu cowo, momen itu cucok banget itu buat dijadiin scene romantis di ftv Indonesia yang sering tayang malem buat anak-anak ababil. Hehehe
Gue pisah kereta sama dia di stasiun Tanahabang. Dan pertemuan kami berakhir di situ.
Ehh gak ding. Gue ketemu dia lagi di hari ke-3. Hari itu adalah rentetan terakhir acara Journalist Days. Dan gue ngantuk parah karena semua acara (cuman dua sih) diisi sama seminar. Brooo. Sumpah gue pingin banget pulang waktu itu. Kepala gue udah goyang kiri goyang kanan gak berenti. Gue di sini sibuk mengusir ngantuk. Dan dia. Dia yang duduk di sebelah gue kayanya ngerti banget sama pembahasannya. Keliatan dari tampang lu, Res. Haha kaya gamau kehilangan momen banget gitu. Serius bener ngedengerin seminar sambil megang henpon, sepertinya lagi mencatat notes kecil tentang seminar. Kayanya gue satu-satunya orang ngantuk di tempat itu.
Akhirnya waktu tepok tangan tanda seminar kelar. Waktu yang gue tunggu-tunggu daritadi. Karena belom sore-sore banget, Nares ngajakin gue liat kampusnya. Sebenernya gue sih yang minta. Terus liat-liat lapangan UI yang guede tapi ga pake payung romantis lagi, soalnya matahari lagi terang benderang. Selama perjalanan, gue banyak mendominasi pembicaraan. Ngoceeeeeeeeeeeeehhh mulu. Nanyaaaaaaaaaaaaaa mulu. Ngooomeeell ini itu mulu.
Dan dia hanya diam. Diam. DIAM. Gue baru perhatiin. Waktu gue ngomel "eh ini panas banget ya udara" "buset gerah gue" "duh lengket" "bis nya ga dateng-dateng dah" "lama bener ye, Res". Dia diem aja enggak nanggepin gue. Akhirnya gue baru sadar bahwa daritadi gue menyebarkan hawa negatif ke dia. Dan dia gak mau ikutan nambahin hawa negatif itu, makanya diem aja. Gue lupa dia bilang soal itu atau cuman gue yang simpulkan sendiri. Maklum otak gue cuman nampung momen selama seminggu doang. Hehe. Nah itu hal yang gue kagum #cieilah dari dia. Dia gak mau ngerusak mood dia dan tentu gak mau memperburuk suasana. So, die ga omong apapun. Gue pikir itu filosofi hidup yang patut dicontoh.
Gue ga nyangka pertemuan yang bentar banget bakal jadi seseru ini. Mungkin, gak akan seru kalo yang gue temui itu bukan Nurul Nareswari si cewek yang ternyata demen selfie juga :)
26 June 2014
When Will You Start Writing?
Aku memiliki ketakutan di dalam menulis. Mungkin itu juga yang menjadikanmu begitu membeku ketika ingin memulai sebuah tulisan. Tidak sekali ini aku merasakannya. Mungkin tidak cocok jika disebut sebagai ketakutan, lebih cocok dengan kata "hambatan". Terkadang kita ingin menulis. Tentang apa saja. Namun, ada suara kecil di dalam pikiran kita berkata bahwa apa yang menjadi ide tulisanmu tidaklah begitu penting. Lalu, kita mengiyakan dan bilang ke diri kita "karena ga penting, mending gausah aja nulis."
Aku mencoba mencari ide. Ide besar dan menarik agar memenuhi kriteria tulisan yang menyenangkan dan menyegarkan. Hasilnya apa? Aku jadi sibuk mengerjakan yang lain. Membuka new tab di sebuah perangkat lunak (kalau tidak salah sebut), melihat dunia, dan mencoba membangkitkan mood dengan mendengarkan lagu indie. Akhirnya? Aku lupa untuk menulis. Melenceng dari tujuan awalnya.
Kalau mau dipikir, banyak hambatan buat menulis sebuah artikel. Tulisan 300 kata. Bahkan, sekarang tulisanku hanya 145 kata.
Aku mencoba mencari ide. Ide besar dan menarik agar memenuhi kriteria tulisan yang menyenangkan dan menyegarkan. Hasilnya apa? Aku jadi sibuk mengerjakan yang lain. Membuka new tab di sebuah perangkat lunak (kalau tidak salah sebut), melihat dunia, dan mencoba membangkitkan mood dengan mendengarkan lagu indie. Akhirnya? Aku lupa untuk menulis. Melenceng dari tujuan awalnya.
Kalau mau dipikir, banyak hambatan buat menulis sebuah artikel. Tulisan 300 kata. Bahkan, sekarang tulisanku hanya 145 kata.
Namun, aku kembali berpikir. Hey! Ini bukan ujian Bahasa Indonesia
yang mengharuskanmu mengikuti aturan. Aku di sini punya kebebasan. Menulis berapa katapun, itu terserah padaku.
Aku tahu masalahku. Aku terlalu banyak berpikir. Aku berpikir
bahwa tulisanku akan dicek ejaannya oleh guru dan isinya harus mengandung
kalimat utama dan kalimat pelengkap. Tidak. Tidak sama sekali.
Kamu boleh memiliki keunikan sendiri di dalam menulis. Bahkan
sampai tulisan itu tidak dapat dimengerti oleh siapapun, kecuali kamu. Tidak
ada yang melarang.
Lalu, mengapa aku begitu terpaku pada aturan yang manusia buat ketika
ada kebebasan untuk tidak mengikuti aturan?
Sekarang ini adalah kata ke-244. Dan aku tidak memperdulikannya.
Aku menulis untuk diriku sendiri.
Jadi, jangan hiraukan pertanyaakanku sekaligus judul di atas yang tadi kubuat karena hal itu sudah tidak berlaku sekarang.
13 May 2014
Manusia Seolah Bayangan
Akan selalu ada orang yang diasingkan di dalam hidup kita. Kita menghilangkan keberadaannya, disadari ataupun tidak, bukan karena dia berbuat jahat kepada kita. Just karena kita tidak menyukai tingkah laku mereka atau gayanya yang membuat tidak nyaman, mungkin. Dengan alasan itu, kita seakan-akan mempunyai hak untuk menutup telinga kita ketika sedang diajak bicara olehnya. Kita menutup sebelah mata ketika melihat mereka sedang sendirian. Kita menjadi tidak bertenaga untuk membuka rongga mulut dan mengeluarkan kalimat balasan ketika diajak mengobrol olehnya.
Gila.
Kita hidup di dunia ga sendiri. Dunia ini luas dan fokusnya bukan kita. Juga bukan AKU. Jadi, jangan sempitin pikiran kita dengan berteman sama orang yang pengen kamu kenal aja. Gak adil buat mereka kalau kita punya pikiran yang sempit kaya gitu "Gue ga suka ngobrol sama elu. Jadi gue ga mau usaha buat membuka pembicaraan." Atau "Gue ga sentuh hidup lu. Lu juga jangan ganggu-ganggu ya? Makasih" Pikiran semacam ini menutup ruang bagi mereka untuk mengenal kita, juga memberi diri kita sendiri ruang untuk mengenal mereka.
Dengan membuka ruang itu sedikit demi sedikit, kita jadi bisa lebih ngerti orang lain dan memperluas hati kita. Buat apa ngerti orang lain? Gue pikir mengenal orang yang beragam jenisnya bikin kita lebih sering bercermin. Gue yakin setiap manusia yang Tuhan ciptakan diperlengkapi dengan sisi di dalam dirinya yang bisa dibuat pelajaran buat manusia lain. Bisa ngambil pelajaran dari kebaikan si manusia itu, bisa juga dari kekurangannya. Makin kita bercermin dari orang lain, makin kita tahu kalo banyak kebusukan di dalam hati yang tersimpan dan terkubur baik-baik di balik hati kita.
Gue nonton film Spiderman 2 kemaren. Gue terkesan dengan film ini jelas bukan karena aksi perkelahiannya dan pertunjukan akrobatiknya si Spidey, tetapi karena ada satu tokoh unik yang dimunculin di film ini. Dia adalah orang yang mereka sebut invisible (kalo gue gak salah denger ya hehe) man. Suatu ketika karena terjadi sebuah kecelakaan, dia jadi punya kekuatan super. Alhasil, dia bales dendam ke semua orang karena dia ga pernah dianggap dan selalu diabaikan selama hidupnya. Even, waktu ulang tahun ga ada yang ucapin dia ulang tahun kalo dia ga nulis "Happy Birthday" di tabletnya.
Apa lu ga ngerasa bersalah kalo ternyata orang yang ada di dekat lu jadi jahat banget karena ada kontribusi lu dalam mengacangi dia in a smooth way? Well, film ini versi lebai nya sih, cuman gue merasa hal itu bukan ga mungkin terjadi di hari depan.
Coba kalian pikir siapa atau adakah seorang yang jadi manusia bayangan di hidup kalian. Gak ada ruginya buat kalian coba nunjukin kasih kalian. Terserah bentuknya apa aja. Gue yakin kalau tulus pasti apapun bentuk rasa kasih itu akan menjadi mengesankan buat orang tersebut.
Kalian pasti sudah banyak mendapatkan kasih sayang dari keluarga, temen, ato pacar kan? Kenapa pelit banget buat bagi-bagi kasih kalian? Mungkin itu bakal jadi hadiah yang indah di hari itu buat orang itu. Atau mungkin paling indah di hidup mereka. Siapa yang tahu?
Kalian pasti sudah banyak mendapatkan kasih sayang dari keluarga, temen, ato pacar kan? Kenapa pelit banget buat bagi-bagi kasih kalian? Mungkin itu bakal jadi hadiah yang indah di hari itu buat orang itu. Atau mungkin paling indah di hidup mereka. Siapa yang tahu?
18 March 2014
Dunia Tanpa Kotak-kotak Audiovisual
Gue ga nyangka bakal lebih enak ketika gak ada bising suara film serial korea kesukaan nyokap dan gue yang merusak keheningan malam. Gue bisa ngobrol sama nyokap, bukan karena ngebahas soal jokes2 lucu di kotak audiovisual atau lagi bahas soal si Minjung kenapa marahin si tuan Park tanpa alasan. Beda dari hari kebiasaan, hari ini dan hari kemarin-kemarin, gue banyak ngobrol soal apa yang gue lakukan hari ini dan apa aja yang udah terjadi selama 7 jam 45 menit efektif belajar di sekolah.
Kalo parabola gue ga rusak, gue tebak diri gue sekarang lagi nongkrongin itu kotak audiovisual ampe gue ngantuk. Gak peduli sama laptop gue yang kangen buat ditoel-toel tuts keyboard (loh ini piano apa laptop sih) nya sama gue. Gak peduli sama buku bacaan yang gue kacangin lama banget. Gak peduli juga sama orang tua gue yang pengen banget diajak ngobrol sama anak bontot yang masih ketinggalan di Jakarta, karena yang lain udah pada di luar kota.
Gue bayangkan betapa asiknya dan hangatnya dunia ketika kita membuang semua kotak-kotak audiovisual yang ada di rumah kita, ada di tas kita, yang ga pernah kita lupakan ketika pergi (bahkan pergi ke toilet buat boker) ke lubang black hole. Semua dokumen perkembangan teknologi dari kotak-kotak audiovisual dibuang juga ke lubang black hole. Kalo perlu orang yang ngembangin juga dilempar ke lubang itu bersama dengan dokumen-dokumen itu (ehh bercanda) biar kita susah ngembangin teknologi itu lagi.
Kita balik di masa tanpa kotak-kotak audiovisual. Dimana semua hanya ada komunikasi langsung. Wihiy. Mimpi gue banget. Dimana kita mau berusaha mengurangi ke-awkward-an sama orang asing dengan ngobrol sama dia, dengan motto: "omongin soal apa aja yang penting omong", bukan pelarian ke kotak audiovisual. Dimana relasi itu dibangun dari yang real. Dimana cinta ada dan dibentuk karena relasi yang membangun satu sama lain tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dimana berantem itu face to face bukan perang di jejaring sosial. Dimana orang mengenal manusia lain bukan karena followers inst*gram mereka beribu jeti, tapi karena mereka adalah orang yang berbudi mulia, berakhlak baik, dan punya kontribusi "menyembuhkan" dunia yang sakit. Dimana ngobrol sama orang lain menjadi suatu hal yang paling mengasyikan, paling ENGGAK membosankan dan satu-satunya hiburan buat kita.
Indah ya kalo itu bisa beneran terjadi.
Dan gue merasa akan lebih baik kalo parabola di rumah gue dibiarin rusak aja. Kalo parabola lu lagi rusak atau kotak audiovisual di rumah lu lagi rusak, biarin aja rusak. Bilang sama mereka kalo lu gak tunduk sama teknologi karena lu bukan budak mereka!
Oiya, semoga kalian ngerti setelah baca sampai akhir apa yang gue maksud dengan kotak-kotak audiovisual. Kotak-kotak audiovisual yang gue maksud di sini adalah alat-alat elektronik buat berkomunikasi yang mayoritas dari mereka berbentuk kotak dalam berbagai ukuran, juga alat elektronik sebagai alat untuk menyebarkan informasi (baca: televisi) yang kebetulan juga berbentuk kotak memanjang.
10 February 2014
The Five Regrets
I found this interesting post about things you will regret when I was browsing.
By: Bronnie Ware
For many years I worked in palliative care. My patients were those who had gone home to die. Some incredibly special times were shared. I was with them for the last three to twelve weeks of their lives.
People grow a lot when they are faced with their own mortality. I learnt never to underestimate someone's capacity for growth. Some changes were phenomenal. Each experienced a variety of emotions, as expected, denial, fear, anger, remorse, more denial and eventually acceptance. Every single patient found their peace before they departed though, every one of them.
When questioned about any regrets they had or anything they would do differently, common themes surfaced again and again. Here are the most common five:
1. I wish I'd had the courage to live a life true to myself, not the life others expected of me.
This was the most common regret of all. When people realise that their life is almost over and look back clearly on it, it is easy to see how many dreams have gone unfulfilled. Most people had not honoured even a half of their dreams and had to die knowing that it was due to choices they had made, or not made.
It is very important to try and honour at least some of your dreams along the way. From the moment that you lose your health, it is too late. Health brings a freedom very few realise, until they no longer have it.
2. I wish I didn't work so hard.
This came from every male patient that I nursed. They missed their children's youth and their partner's companionship. Women also spoke of this regret. But as most were from an older generation, many of the female patients had not been breadwinners. All of the men I nursed deeply regretted spending so much of their lives on the treadmill of a work existence.
By simplifying your lifestyle and making conscious choices along the way, it is possible to not need the income that you think you do. And by creating more space in your life, you become happier and more open to new opportunities, ones more suited to your new lifestyle.
3. I wish I'd had the courage to express my feelings.
Many people suppressed their feelings in order to keep peace with others. As a result, they settled for a mediocre existence and never became who they were truly capable of becoming. Many developed illnesses relating to the bitterness and resentment they carried as a result.
We cannot control the reactions of others. However, although people may initially react when you change the way you are by speaking honestly, in the end it raises the relationship to a whole new and healthier level. Either that or it releases the unhealthy relationship from your life. Either way, you win.
4. I wish I had stayed in touch with my friends.
Often they would not truly realise the full benefits of old friends until their dying weeks and it was not always possible to track them down. Many had become so caught up in their own lives that they had let golden friendships slip by over the years. There were many deep regrets about not giving friendships the time and effort that they deserved. Everyone misses their friends when they are dying.
It is common for anyone in a busy lifestyle to let friendships slip. But when you are faced with your approaching death, the physical details of life fall away. People do want to get their financial affairs in order if possible. But it is not money or status that holds the true importance for them. They want to get things in order more for the benefit of those they love. Usually though, they are too ill and weary to ever manage this task. It is all comes down to love and relationships in the end. That is all that remains in the final weeks, love and relationships.
5. I wish that I had let myself be happier.
This is a surprisingly common one. Many did not realise until the end that happiness is a choice. They had stayed stuck in old patterns and habits. The so-called 'comfort' of familiarity overflowed into their emotions, as well as their physical lives. Fear of change had them pretending to others, and to their selves, that they were content. When deep within, they longed to laugh properly and have silliness in their life again.
When you are on your deathbed, what others think of you is a long way from your mind. How wonderful to be able to let go and smile again, long before you are dying.
Life is a choice. It is YOUR life. Choose consciously, choose wisely, choose honestly. Choose happiness.
The original text is from http://www.inspirationandchai.com/Regrets-of-the-Dying.html
So, I remind you once again to live your live while you have the chance
By: Bronnie Ware
For many years I worked in palliative care. My patients were those who had gone home to die. Some incredibly special times were shared. I was with them for the last three to twelve weeks of their lives.
People grow a lot when they are faced with their own mortality. I learnt never to underestimate someone's capacity for growth. Some changes were phenomenal. Each experienced a variety of emotions, as expected, denial, fear, anger, remorse, more denial and eventually acceptance. Every single patient found their peace before they departed though, every one of them.
When questioned about any regrets they had or anything they would do differently, common themes surfaced again and again. Here are the most common five:
1. I wish I'd had the courage to live a life true to myself, not the life others expected of me.
This was the most common regret of all. When people realise that their life is almost over and look back clearly on it, it is easy to see how many dreams have gone unfulfilled. Most people had not honoured even a half of their dreams and had to die knowing that it was due to choices they had made, or not made.
It is very important to try and honour at least some of your dreams along the way. From the moment that you lose your health, it is too late. Health brings a freedom very few realise, until they no longer have it.
2. I wish I didn't work so hard.
This came from every male patient that I nursed. They missed their children's youth and their partner's companionship. Women also spoke of this regret. But as most were from an older generation, many of the female patients had not been breadwinners. All of the men I nursed deeply regretted spending so much of their lives on the treadmill of a work existence.
By simplifying your lifestyle and making conscious choices along the way, it is possible to not need the income that you think you do. And by creating more space in your life, you become happier and more open to new opportunities, ones more suited to your new lifestyle.
3. I wish I'd had the courage to express my feelings.
Many people suppressed their feelings in order to keep peace with others. As a result, they settled for a mediocre existence and never became who they were truly capable of becoming. Many developed illnesses relating to the bitterness and resentment they carried as a result.
We cannot control the reactions of others. However, although people may initially react when you change the way you are by speaking honestly, in the end it raises the relationship to a whole new and healthier level. Either that or it releases the unhealthy relationship from your life. Either way, you win.
4. I wish I had stayed in touch with my friends.
Often they would not truly realise the full benefits of old friends until their dying weeks and it was not always possible to track them down. Many had become so caught up in their own lives that they had let golden friendships slip by over the years. There were many deep regrets about not giving friendships the time and effort that they deserved. Everyone misses their friends when they are dying.
It is common for anyone in a busy lifestyle to let friendships slip. But when you are faced with your approaching death, the physical details of life fall away. People do want to get their financial affairs in order if possible. But it is not money or status that holds the true importance for them. They want to get things in order more for the benefit of those they love. Usually though, they are too ill and weary to ever manage this task. It is all comes down to love and relationships in the end. That is all that remains in the final weeks, love and relationships.
5. I wish that I had let myself be happier.
This is a surprisingly common one. Many did not realise until the end that happiness is a choice. They had stayed stuck in old patterns and habits. The so-called 'comfort' of familiarity overflowed into their emotions, as well as their physical lives. Fear of change had them pretending to others, and to their selves, that they were content. When deep within, they longed to laugh properly and have silliness in their life again.
When you are on your deathbed, what others think of you is a long way from your mind. How wonderful to be able to let go and smile again, long before you are dying.
Life is a choice. It is YOUR life. Choose consciously, choose wisely, choose honestly. Choose happiness.
The original text is from http://www.inspirationandchai.com/Regrets-of-the-Dying.html
So, I remind you once again to live your live while you have the chance
08 February 2014
The Left Eye
close your left eye, sometimes
use the right one
you can still see the world
even you can look at the world better than with your two eyes
with different perspective
clearer one
you think
with two eyes
you can see wider
no no no
you are wrong
you make a big mistake
ignore the left eye for sometime
now
or you"ll drowning not in your world
but in someone's world
forever
To be honest with you
I often use that eye
and it drown me deep down below
use the right one
you can still see the world
even you can look at the world better than with your two eyes
with different perspective
clearer one
you think
with two eyes
you can see wider
no no no
you are wrong
you make a big mistake
ignore the left eye for sometime
now
or you"ll drowning not in your world
but in someone's world
forever
To be honest with you
I often use that eye
and it drown me deep down below
02 February 2014
What Angels are Doing in Sunday Nights
Agak kontroversial emang kalo gue bilang malaikat. Tapi, kayanya Tuhan baik banget sama gue sampai mau ngutus malaikatnya buat ngirimin chat berantai dari sebuah aplikasi pesan. Kayanya sekarang malaikat itu lagi sibuk nge-forward pesan itu deh :).
Someone has written these beautiful lines. Read and consider the deeper meaning of the phrases.
1. Prayer is not a "spare-wheel" that you pull out when in trouble, but it is a "steering-wheel" that directs the right path throughout life.
2. Why is a car's windshield so large and the rear view mirror so small? Because our PAST is not as important as our FUTURE. So, look a head and move on.
3. Friendship is like a BOOK. It takes a few seconds to burn, but it takes a years to write.
4. All things in life are temporary. If they are going well, enjoy them, they will not last forever. If they are going wrong, don't worry, they cant last long either.
5. Old friends are gold! New friends are diamond! If you get a diamond, don't forget the gold! To hold a diamond, you always need a base of gold!
6. Often when we lose hope and think this is the end, God smiles from above and says, "Relax, sweetheart; it is just a bend, not the end!"
7. When God solves your problems, you have faith in His abilities; when God doesn't solve your problems, He has faith in YOUR abilities.
8. A blind person asked God: "Can there be anything worse than losing eye sight?" He replied: "Yes, losing your vision!"
9. When you pray for others, God listens to you and blessed them, and sometimes, when you are safe and happy, remember that someone has prayed for you.
10. Worrying does not take away tomorrow's troubles; it takes away today's PEACE.
31 January 2014
Mysterious Envelope
Gue hari ini dapet surat aneh. Tadi pagi
tiba-tiba aja, ada surat di depan pintu rumah gue. Gue gatau itu diperuntukkan
kepada siapa. Cuman, feeling gue mengatakan itu surat emang buat gue.
Ini bentuk suratnya
Gue buka suratnya. Isinya pun sama anehnya
kaya luar suratnya. Tulisannya gini:
Hey. Aduh aku mau minta maaf nih. Telat ya
ngasih suratnya? Udah telat seminggu baru kamu terima. Tukang pos kilat khusus
spesial bilang anginnya lagi gak menentu. Susah untuk melihat posisi rumah kamu
dan mendaratkan surat itu. Padahal aku udah nunggu-nunggu hari ketika kamu baca
surat dariku.
Anyway, bukan itu sih yang mau aku omongin di sini. Aku cuma mau kasih
tahu kamu bahwa tahun ini bakal banyak banget kisah yang menantikan kehadiranmu.
Kamu ga usah khawatir. Semuanya udah aku susun bagus banget. Mulai dari
jatuhnya, naiknya, sedih, seneng, pahit, manis, asem. Bah! Mantep. Aku udah
ngeramu itu semua jadi ramuan yang paling kece dan oke deh. Kamu pokoknya harus
percaya sama aku dan Bos aku kalo kami kasih yang paling baik buat kamu. Aku
lembur selama setaun buat ngerjain skenario hidup kamu di umur ke-18.
Serunya ngelebihin tahun lalu. Kamu kan
udah mau lulus. Kamu bakal masuk ke hidup anak kuliahan. Itu kan yang kamu
nanti-nantikan? Wihiihi. Gak bisa bayangin muka seneng kamu pas nanti
menginjakkan kaki pertama kali ke tempat kuliah kamu buat OSPEK. Pasti puzzled campur semangat campur
deg-degan. Kamu kan panikan banget orangnya.
Aku
liat kamu dari atas. Ada yang lagi ganggu pikiran kamu, ya? Kamu tahu kan pantangan kalau
sedih di hari jadi kamu? Ga boleh keseringan galau, nanti rambutmu botak loh.
Sekarang aja udah tipis tuh. Kamu liat deh nanti, apa yang kamu khawatirkan itu
kebanyakan cuman khayalan kamu doang, padahal aku sama Bosku ga pernah tuh buat
jalan cerita kaya gitu.
Oh yang ini ga boleh ketinggalan. Selamat
hari ke-6200! Kamu udah ada di dunia selama itu. Aku sebenernya ga tau mau
bilang selamat atau maaf karena hari-harimu di dunia semakin berkurang. Kamu
harusnya udah tahu itu. Semakin berkurang hari kamu di dunia, semakin cepat
kamu akan bertemu aku dan Bosku. Aku ga sabar nunggunya! Tapi, kita ga bakal
bisa ketemu nih. Aku cuman bisa liat kamu dari kejauhan. Dan kamu.. cuman bisa
liat surat ini doang. Tapi ketemu ga penting ah menurutku. Yang penting hati
kita kan jadi satu. Ya gak?
Yah.. Aku udah diliatin sinis melulu sama
Bosku nih. Saking asiknya nulis surat sampe lupa kerjaan. Aku ada rapat awal
tahun sama aku dari masa lain. Udahan dulu ya. Kamu harus semangat terus, Jes!
Big hugs and kisses
From your future “YOU”
Siapapun dia, orang iseng atau beneran gue di masa depan. Gue cuman mau bilang ”tunggu
gue ya, gue mau buat sesuatu dulu di dunia”.
NB: Kalo penasaran soal kebenaran kisah ini, coba perhatiin labelsnya deh. Gue gamau kasih tahu :P Kalau emang kepo banget dan ga nemu jawabannya, boleh message gue kok. Hehehe
NB: Kalo penasaran soal kebenaran kisah ini, coba perhatiin labelsnya deh. Gue gamau kasih tahu :P Kalau emang kepo banget dan ga nemu jawabannya, boleh message gue kok. Hehehe
08 January 2014
Bukan Cuman Manusia yang Bisa Galau
Manusia emang sering banget nge-galau. Masalahnya macem-macem, mulai dari level kacangan sampe yang tingkat tinggi juga ada. Manusia bisa galau karena bingung milih baju yang mana buat dipake jalan, bingung milih es krim apa yang enak buat dicoba hari ini. Manusia juga bisa galau gara-gara jomblo dan ga ada kerjaan di malming. Bisa galau juga gara-gara sepatu baru beli kena injek orang. Bisa galau karena krisis ekonomi yang begitu mencekik perut dan otak. Bisa galau karena masalah keluarga yang begitu pelik. Kalo mau di list down semuanya, bisa-bisa setaon lebih ga kelar. Poinnya adalah banyak banget hal bisa dijadiin ramuan galau buat manusia.
Tapi ternyata, manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang bisa merasakan kehampaan hati loh. Berdasarkan pengalaman serta penelitian seorang remaja perempuan yang super atraktif dan aktif yang pasti lu tau karena dialah pembuat tulisan yang sedang lu baca ini, ia baru menyadari kelainan yang terjadi pada binatang peliharaannya yang lucu setelah ia kembali dari liburan di Jawa selama dua minggu lamanya. Pasalnya, si Bilbil terlihat sangat tak bersemangat ketika kembali ke rumah. Yah.. Emang sih pas pertama kali menginjakan 4 kaki mungilnya itu, dia kelihatan giras banget.
Cuman, gue liat akhir-akhir ini dia kaya linglung. Kehilangan gairah hidup. Kalo diibaratin jadi orang tuh, orangnya lagi ngelamun skala panjang. Badannya sih di sini, cuman nyawanya di tempat lain. Di rumah temen gue.
*waktumundur*
Gue dan keluarga ceria gue sedang kebingungan nyari tempat buat Anjing Keluarga (sebutan sayang) ini singgah. Berhubung kalo nitip di petshop akan menghasilkan angka nominal yang cukup besar, maka berputarlah otak kami buat menanyakan kebersediaan temen-temen dekat kami untuk memberikan tempat singgah bagi minipincer berwarna coklat ini. Dari sekian banyak tawaran yang kami berikan, cuman temen gue satu ini yang badannya bunder tapi baik hati sekali seperti suster (apaan sih) yang bersedia.
Lalu, dibawanyalah Bilbil ke "rumah baru". Ternyata, semua anjing teman gue dimasukkan ke dalam kandang. Awalnya, gue ga tega banget ngeliat kandang yang kecil bener, mana itu kandang harus sharing lagi sama anjing laen. Pasti Bilbil stres banget gara-gara ruang geraknya sangat terbatas, padahal kalo di rumah gue, dia bisa lari maraton sesuka hati. Tapi, bokap temen gue bilang kalo bakal lebih baik ada temennya dikandang supaya si Bilbil nya ga terlalu kaget dan stress.
Sudah selesai membicarakan cara Bilbil makan dan lain sebagainya. Kami pamit. Mobil gue melaju keluar pekarangan rumah teman gue yang baik hati itu dengan bulu-bulu rontok anjing Bilbil yang masih tertinggal seakan belum mau berpisah.
*waktunormal*
Eh.. Ga nyaka si Bilbil masih meninggalkan separuh nyawanya di "rumah baru" itu. Bukan cuman gue yang omong Bilbil makin hari makin lemes, nyokap gue juga berpikiran hal yang sama. Kami berkesimpulan bahwa Bilbil kangen sama sahabatnya yang walaupun bukan satu ras tetapi telah menjadi teman seperjuangannya di "rumah baru".
Liat deh betapa lesunya anjing gue. Kerjaannya cuman makan, tidur, sama kencing.
Ini mata Bilbil yang paling ampuh menarik perhatian kami. Tatapan yang bikin gue tersentuh dan meluluhkan semua kejijian gue (gambar pertama). |
"Gaya Tidur Kesukaan" |
"Bonus Picture" |
Penelitian singkat ini punya sebuah pelajaran yang dapat dipetik. (Entah apa yang merasuki gue, tulisan gue akhir-akhir ini, selalu ada moral of the story nya. Kaya kudu ada banget). Manusia tuh wajar kok buat galau soal masalah ini dan itu. Manusia ga akan pernah bisa lepas ataupun kabur dari masalah. Itu emang udah kodrat dari Tuhan. Cuman, ada yang namanya mup on. Masih ada dunia yang menantikan dirimu kembali bersinar, bergairah, dan bersemangat!
Anjing aja ada masa sedihnya kok, manusia juga pasti ada :)
Subscribe to:
Posts (Atom)