26 November 2011

I Cried For My Brother Six Times

Pengantar: Ini adalah cerita terjemahan. Gue gatau darimana dan true story ato bukan karena ini email dari papa gue. Ada sedikit kata-kata di sini yang gue ganti supaya enak dibacanya. Yang pasti mata gue berkaca-kaca pas baca nih tulisan (seriously!).
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan, yang hampir semua gadis di sekitarku memakainya. Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau menyuruh adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya.
 Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, lalu mengatakan,

“Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
 Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
“Ayah, aku yang mencuri!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah marah besar sehingga terus menerus mencambukinya sampai ayah kehabisan nafas. Sesudah itu, ayah duduk di atas ranjang batu bata kami dan membentak,
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung (yang pertama). Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
“Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki keberanian untuk mengaku. Bertahun-tahun telah berlalu, tetapi insiden itu terasa seperti kemarin saja. Aku tidak lupa dengan raut muka adikku ketika ia melindungiku. Saat itu, usiaku 11 tahun dan adikku 8 tahun.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP. Setelah ia lulus, akan masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah melamun di halaman, menghisap rokok tembakaunya, sebatang demi sebatang. Saya mendengarnya bisikannya,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu memuaskan…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas
“Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Kurasa cukup bagiku untuk membaca banyak buku.”
Ayah mengayunkan tangannya ke pipi adikku, lalu membentak,
“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika itu artinya  saya harus mengemis di jalanan, saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”
Kemudian, ia mengetuk setiap rumah di dusun untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
“Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
“Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimkanmu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku sambil menangis sampai suaraku hilang (kedua kali). Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasil dari mengangkut semen di lokasi konstruksi, akhirnya aku sampai di tahun ketiga universitas.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
“Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
“Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”
Dia menjawab dengan senyuman tersungging di bibirnya,
“Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku (ketiga kali). Aku membersihkan debu-debu yang ada di tubuh adikku, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
“Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku demi apapun! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan menjelaskan,
“Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi aku pikir kakak juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, dan aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan rumahku terlihat bersih daripada sebelumnya. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita tadi!”
Balasnya, sambil tersenyum
“Adikmu lah yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan adikku. Melihat wajahnya yang kurus, rasanya seratus jarum menusuk-nusuk badanku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan membalut lukanya.
“Apakah itu sakit?”
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu, bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…”
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku dan memunggunginya, air mata mengalir deras di wajahku (keempat kali). Tahun itu, adikku 23, aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku pindah ke kota. Sering suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu apa yang harus dikerjakan. Adikku juga tidak setuju, mengatakan,
“Kak, jagalah mertuamu aja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur sebuah pabrik. Kami ingin adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Namun, adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras mulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku naik tangga untuk memperbaiki sebuah kabel. Tiba-tiba ia mendapat sengatan listrik, dan langsung dilarikan ke rumah sakit.Suamiku dan aku segera menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
“Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak perlu  melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami dari awal?”
Dengan mimik serius, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar – ia baru saja menjadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer, apa yang akan dikatakan orang-orang tentang suamiku, kak?”
Mata suamiku dan aku dipenuhi air mata (kelima kali), kemudian keluar sepatah kata dariku:
“Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?”
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Ia kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara bertanya kepadanya,
“Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
“Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan sebuah kisah yang bahkan terlupakan olehku.
“Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu sarung tangan dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetar karena cuaca yang begitu dingin, sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakak saya dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu sulit keluar dari bibirku,
“Dalam hidupku, orang paling perlu aku berikan tanda terima kasih terbanyak adalah adikku.” Dia, orang yang paling berbahagia saat ini. Di tengah keramaian pesta, air mata menghujani wajahku dengan deras (keenam kali).

No comments:

Post a Comment